BRIN Paparkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Rabu 25 Sep 2024 - 20:38 WIB
Editor : Jurnal

Dalam Pembuatan Kapal Pinisi

JAKARTA-Peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ratna Indrawasih dan Widya Safitri memaparkan nilai-nilai kearifan lokal dari proses pembuatan kapal tradisional dari Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni Pinisi.

Ratna memaparkan bahwa masyarakat pesisir di Distrik Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulsel, yang kental dengan budaya maritimnya dan dikenal sebagai pembuat kapal memiliki nilai kearifan lokal tidak hanya dalam hal navigasi pelayaran, tetapi juga dalam seni membuat kapal, terutama Kapal Pinisi.

"Tradisi membuat Kapal Pinisi telah bertahan selama periode yang panjang, dimana ilmu tersebut diwariskan dari generasi ke generasi," kata Ratna saat memaparkan hasil penelitiannya bersama Widya di International Forum on Spice Route 2024 yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.

Keahlian masyarakat Bontobahari dalam pembuatan Kapal Pinisi, kemampuan berlayar, serta navigasi dipengaruhi oleh elemen dari alam dan ajaran kearifan lokal.

Ia menjelaskan para pembuat Kapal Pinisi di Desa Ara, Distrik Bontobahari, percaya bahwa takdir lebih bergantung terhadap pembuatan kapal daripada kepemilikannya. Kepemilikan atas Kapal Pinisi, menurut kepercayaan mereka, akan mendatangkan kemalangan misalnya tenggelam di laut atau terkena badai.

Widya yang turut memaparkan hasil penelitian mereka menjelaskan proses pembuatan Kapal Pinisi melibatkan beberapa posisi penting dalam adat. Pertama ada panrita lopi yang memiliki keahlian teknis maupun magis, bertanggung jawab menjaga nilai tradisi.

Kemudian ada pangkaha yang bertugas mengawasi aspek teknis pembuatan kapal, lalu ada sawi yang membantu proses konstruksi. Proses pembuatan kapal bisa berlangsung selama tiga sampai empat bulan dan bisa lebih lama tergantung ukuran kapal.

Agar proses ini berlangsung lancar dan terhindar dari bala, kata dia, masyarakat menggelar upacara Anantara saat tahap penyatuan lunas kapal yang menjadi simbol akan lahirnya sebuah kapal baru.

"Upacara Anantara yang menandai penyatuan lunas kapal menggambarkan penyatuan ayah dan ibu sebagai pertanda lahirnya 'janin kapal' yang akan berubah menjadi 'bayi kapal'," papar Widya.

Sebelum kapal diluncurkan ke laut, masyarakat Bontobahari juga melakukan upacara adat terlebih dahulu yang disebut Barzanji. Dalam upacara yang selalu digelar pada hari Jumat ini, dibacakan doa-doa untuk menolak bala serta meminta berkat agar pelayaran kapal baru ini senantiasa diberikan keselamatan.

"Ritual tradisional ini mempertahankan signifikansi baik dalam proses pembuatan kapal maupun peluncurannya, kendati preferensi pemesan kapal dapat mempengaruhi ketaatan terhadap upacara tersebut," kata Widya. (ant)

Kategori :

Terkait