Tantangan
Setelah PAUD berdiri, orang tua pun ramai mendaftarkan anak-anaknya. Yosi tidak menetapkan berapa biaya khusus yang diperlukan untuk mendaftar, melainkan hanya secara sukarela. Bahkan, ia menggratiskan biaya bagi orang tua yang kurang mampu.
Ada lebih dari 200 kepala keluarga (KK) yang tinggal Kampung Ayapo. Yosi mencatat, ada 43 pendaftar baru di tahun 2023, dengan jumlah total siswa, kini lebih dari 60 anak.
Butuh banyak kesabaran untuk menghadapi tantangan selama mengajar, utamanya dari para orang tua yang tidak semua menyukai cara mengajar Yosi.
"Ada (orang tua) yang tidak suka dengan guru, tidak suka dengan cara ajar kita. Tapi, karena kita semua satu kampung, satu keluarga, akhirnya kita terobos. Kita tahu anak ini pintar, jadi kita tarik anak itu, ajar dia. Anak-anak itu kini sudah jadi tentara dan polisi di sana (Kota Jayapura)," ucapnya.
Meski sebagian orang tua masih bersikukuh untuk tidak menyekolahkan anaknya dan lebih memilih mengajak mereka bekerja, tetapi Mama Yosi tak kenal lelah. Anak-anak itu awalnya diajak ke rumah baca yang juga ia dirikan, dan ia pula yang meyakinkan kepada kedua orang tua mereka bahwa pendidikan akan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik.
Ia pula yang mengurus administrasi kependudukan anak-anak didiknya, mengingat masih ada sebagian masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan pembuatan akta atau KK, padahal kedua berkas tersebut sangat dibutuhkan apabila anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,
Siapa pun dia, Yosi bawa ke tempatnya rumah bacanya dengan gratis, bahkan akta kelahiran pun diurus di tempat itu. Dengan bantuan seperti, para orang tua tentu sangat senang.
Yosi bersama para pengajar di PAUD itu juga memikirkan dengan matang bagaimana masa depan sang anak setelah lulus dari PAUD, dengan memberikan sertifikat yang memuat nilai dari enam aspek kemampuan anak, yakni agama, seni, kemampuan kognitif, motorik kasar dan motorik halus.
Sebagian besar anak lulus di usia 6-7 tahun dan melanjutkan ke tingkat sekolah dasar (SD). Setelah lulus, Yosi pulalah yang berjuang mengetuk pintu-pintu SD agar anak-anak itu diterima tanpa tes membaca atau menghitung, karena menurutnya, anak-anak tersebut lulus dari sekolah non-formal, bukan sekolah formal pada umumnya yang sudah mengajarkan membaca atau menghitung.
Yosi menyampaikan kepada sekolah-sekolah itu untuk menerima mereka dengan pertimbangan sudah cukup umur dan tidak perlu dites yang macam-macam.
Yosi juga mengaku masih menerima anak-anak usia SD yang datang kepadanya karena masih belum bisa membaca dan menulis.
Ada anak yang dia temui saat membeli pinang, tapi tidak paham cara menghitung uang. Dari situ Mama Yosi meanggil si anak yang kemudian diketahui belum bisa membaca.
"Kau bukan tidak tahu, kau tahu, tapi kau takut dengan guru, kau tak berani sampaikan (bagian) mana yang tak paham ke guru, di situ mama menangis, anak juga menangis," ucap Yosi, menceritakan pengalaman harunya.
Dari kejadian-kejadian itulah ia menyimpulkan bahwa tidak ada anak Indonesia yang bodoh, hanya saja masih banyak guru-guru atau orang tua yang kurang memberikan peluang untuk anak-anak itu.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Yosi, yakni era digital yang membuat anak-anak lebih senang bermain gawai daripada belajar dengan buku fisik. Namun, ia tak mempermasalahkan itu dan malah melihatnya sebagai peluang untuk menyeimbangkan antara teknologi dengan pembelajaran konvensional.