Ia pun berhasil menemui kedua pemimpin negara berkonflik, yaitu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan, pada hari kedua kunjungan, Presiden Rusia Vladimir Putin.
Mengenai alasannya melakukan kunjungan tersebut, Jokowi menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan wujud kepedulian Indonesia untuk perdamaian Ukraina dan Rusia. Saat itu, ia mengingatkan supaya ruang dialog dalam rangka membangun perdamaian harus diwujudkan.
Misi Jokowi di Ukraina adalah mengajak Zelenskyy guna "membuka ruang dialog dalam rangka perdamaian, untuk membangun perdamaian, karena perang memang harus dihentikan dan juga berkaitan dengan rantai pasokan pangan" yang harus dipulihkan.
"Saya juga mengajak Presiden Putin membuka ruang dialog dan sesegera mungkin melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang," tandas Jokowi terkait kunjungannya tersebut.
Melalui kunjungan tersebut, Presiden Jokowi turut menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang yang terdampak perang Rusia-Ukraina, karena konflik tersebut mengganggu pasokan pangan dan bahan bakar yang vital untuk kebutuhan nasional. Apalagi, perang tersebut pecah ketika dunia sedang berupaya pulih dari pandemi COVID-19.
Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang berkunjung ke Ukraina dan Rusia setelah perang pecah antara kedua negara. Terlebih, kedatangannya tak bertujuan menaikkan popularitas di dalam negeri karena ia tengah berada dalam periode terakhir masa jabatannya.
Tak hanya di Eropa, Indonesia berupaya pula memainkan peran meredakan perang saudara di serumpun negara ASEAN, Myanmar, yang pecah menyusul kudeta Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw) pada Februari 2021 karena menolak hasil pemilu yang dimenangkan partai pimpinan Aung San Suu Kyi.
Dalam upaya meredakan konflik, ASEAN dan Myanmar menyepakati Konsensus Lima Poin yang menyerukan penghentian peperangan, dialog antara semua pihak, penunjukan utusan khusus dan mengizinkan kunjungannya ke Myanmar, serta pengiriman bantuan kemanusiaan oleh ASEAN. Indonesia mendukung inisiatif konsensus tersebut.
Sebagai pemegang Keketuaan ASEAN pada 2023, Indonesia menginisiasikan mekanisme troika di ASEAN dalam upaya penyelesaian konflik di Myanmar pada KTT ke-43 ASEAN. Anggota troika mencakup negara yang memegang keketuaan tahun berjalan, keketuaan tahun sebelumnya, dan keketuaan tahun mendatang.
Selama periode tersebut pula, Indonesia melakukan setidaknya 145 engagements dengan berbagai pihak di Myanmar. Capaian itu merupakan yang paling banyak dan paling intensif yang pernah dilakukan oleh ASEAN.
Inisiatif Indonesia tersebut menguatkan pondasi bagi Laos, pemegang keketuaan ASEAN setelah RI, dalam mendorong penyelesaian konflik Myanmar yang tetap menjadi misi bersama negara-negara ASEAN hingga saat ini.
Apabila ditarik benang merahnya, satu hal yang hendak didorong Presiden Jokowi melalui upayanya mendamaikan sejumlah konflik antarnegara adalah pentingnya pihak berkonflik duduk bersama untuk berunding dan mencari jalan tengah penyelesaian.
Presiden Jokowi berupaya menegaskan supaya konflik diakhiri dengan pendekatan yang diamini semua pihak dan bukan melalui solusi sepihak semata.
Terkait konflik Rusia-Ukraina, misalnya, Indonesia memutuskan abstain dan tak menandatangani Komunike Bersama dari konferensi tingkat tinggi (KTT) perdamaian Ukraina di Swiss pada pertengahan Juni 2024.
Kementerian Luar Negeri RI saat itu menyatakan bahwa Indonesia memandang komunike tersebut akan “lebih efektif apabila disusun secara inklusif dan berimbang”. Pasalnya, Rusia tidak disertakan dalam penyelenggaraan KTT tersebut.
Indonesia pun terus mendorong penyelesaian konflik Myanmar melalui mekanisme Troika ASEAN dan Konsensus Lima Poin, yang salah satu isinya menyerukan dilaksanakannya dialog yang melibatkan semua pihak berkonflik. Hal ini jadi semakin mendesak mengingat Myanmar masih belum menunjukkan komitmennya mengimplementasikan konsensus itu.