Guru Honorer dan Kepahlawanannya

Senin 11 Nov 2024 - 21:01 WIB
Oleh: Muhammad Akta

Oleh : TRI PUJIATI

Peringatan Hari Pahlawan pada 10 November dan Hari Guru pada 25 November patut menjadi refleksi untuk mengingat jasa guru, terutama guru honorer. Bagi kita semua, guru merupakan pahlawan abadi. Mereka bekerja militan di bawah bayang-bayang ketidaksejahteraan. Keberadaannya cenderung diabaikan pemerintah. Setiap lima tahun sekali mereka kerap dijadikan alat politik. Janji-janji manis acap kali dilontarkan kepada mereka. Namun, setelah hajatan politik selesai, mereka kembali ke kondisi normal.
Memiliki tanggung jawab besar mencerdaskan bangsa, kesejahteraan guru masih jauh panggang dari api. Peran terbesar guru adalah transformer sosial, perumus dan artikulator bagi problematika kehidupan kebangsaan, bahkan kemanusiaan universal. Fungsi melayani, mengajar, dan menginspirasi anak-anak bangsa menjadi prioritas utama (Sugianto, 2014).
Mengingat perannya yang sangat krusial, gelar pahlawan acap kali disematkan kepada guru. Guru tak ubahnya pahlawan masa kini yang selalu hadir mendidik dan mengajar calon penerus bangsa.
Problematika Guru
Namun, di balik gemerlapnya sanjungan untuk guru, tidak berarti masalah selesai. Kepahlawanan guru di lapangan tidak dihargai. Masih banyak problematika yang dialami guru. Di antaranya, jam belajar yang tidak proporsional hingga kekerasan yang melibatkan guru.
Secara moral, label guru sebagai pahlawan memang sangat pantas. Namun, secara pragmatis, guru sebagai tenaga pendidik masih jauh dari kesejahteraan. Lantaran itulah, ’’pahlawan tanpa tanda jasa’’ jangan dimaknai sebagai narasi yang dapat menjauhkan guru dari profesionalisme yang patut dibayar dengan layak dan dituntut kompeten.
Menjadi guru juga tidaklah mudah. Guru harus memiliki empat kompetensi. Pertama, kompetensi pedagogik di mana guru harus mampu mengelola kelas dengan baik. Kedua, kompetensi kepribadian. Guru harus memiliki kepribadian yang baik dan patut dicontoh siswa. Istilah digugu lan ditiru merupakan garis besar yang harus menjadi patokan bagi guru sebagai kaca pembesar bagi anak didiknya.
Ketiga, kompetensi profesional. Guru harus mampu berdiri secara profesional. Keprofesionalan itu bisa ditunjukkan di dalam kelas melalui penguasaan materi yang diajarkan. Sementara di luar kelas, guru harus mampu tampil sebagai pelayan masyarakat lantaran dianggap panutan. Bagi masyarakat, guru merupakan panutan ideal.
Keempat, kompetensi sosial. Yakni, kemampuan guru dalam berinteraksi dengan baik terhadap peserta didik, teman sejawat, maupun masyarakat sekitar (Endah, 2012). Harapan Kesejahteraan
Beban kerja guru memang sangat tinggi. Karena itu, wajar apabila kesejahteraan guru harus diperhatikan. Pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti bahwa realisasi janji kampanye Prabowo-Gibran untuk meningkatkan kesejahteraan guru sudah ditugaskan kepada dirinya, tetapi masih dalam tahap pengkajian, patut dinanti. Pemerintah menganggap kesejahteraan guru sangat berbanding lurus dengan mutu pendidikan yang diterima para pelajar. Janji itu menjadi oase di tengah gersangnya kesejahteraan guru.
Hanya, kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif terhadap guru honorer. Guru honorer tidak mendapat kepastian dari pemerintah akan jaminan kesejahteraan mereka. Hingga di titik ini, pemerintah berupaya menjamin kesejahteraan guru melalui beragam kebijakan. Namun, kebijakan itu terasa belum menjadi solusi. Misalnya, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).
Sesungguhnya, sangat mudah bagi pemerintah apabila ingin memprioritaskan kesejahteraan guru. Pertama, pemerintah harus memastikan adanya upah minimum terhadap guru honorer. Pemerintah tidak boleh bersembunyi di balik kalimat ’’guru adalah pahlawan’’ sehingga lantas kesejahteraan mereka diabaikan.
Jika dibandingkan dengan buruh pabrik, justru rekrutmen guru honorer lebih akademis. Namun, di lapangan, kesejahteraan guru berbanding terbalik. Ketika buruh diberi upah minimum, guru tidak bisa memperoleh itu semua.
Kedua, memastikan profesi guru dilindungi oleh undang-undang. Kasus kekerasan yang melibatkan guru, lalu masuk ke ranah hukum, tidak terlepas dari lemahnya perlindungan terhadap profesi guru. Kendati sudah ada peraturan seperti pasal 28G ayat (1) UU Dasar 1945 dan pasal 7 ayat 1 huruf h UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), peraturan tersebut hanya tajam di atas kertas.
Singkatnya, jika menilai kinerja dan tanggung jawab guru, sah-sah saja mereka menuntut kesejahteraan. Momen Hari Pahlawan dan Hari Guru harus menjadi pemantik untuk memuliakan guru. (*Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus)

Tags :
Kategori :

Terkait