Oleh: Dahlan Iskan
JAMBIEKSPRES.CO - Siapa ini? Aneh. Ada wanita tua yang tidak saya kenal di rumah John Mohn di Lawrence, Kansas. Lalu muncul pula dari dalam salah satu kamar: suaminyi.
"Hai Daalan," sapanya.
Uh...tahu pula nama saya.
Meski mengucapkannya dengan logat Amerika ia bersikap seperti sudah mengenal saya. Rupanya John sudah membocorkan kedatangan saya.
Itu ternyata soulmate-nya John. Di masa kuliah dulu. Di Kansas University.
John di jurusan komunikasi jurnalistik, temannya itu di fakultas kedokteran. Sepantaran. Kini sama-sama berusia 85 tahun.
BACA JUGA:Prancis Tundukkan Amerika Serikat 3-0
BACA JUGA:Uruguay Hentikan Perjuangan Amerika Serikat
Saya pun permisi dulu menaruh tas. Saya tahu "kamar saya" di sebelah mana: lantai bawah. Begitu saya balik ke lantai atas mereka lagi seru: berdebat bagaimana Donald Trump bisa menang di Pilpres seminggu lalu.
Lantai atas rumah ini sejajar dengan halaman depan. Sedang lantai bawahnya sejajar dengan halaman belakang yang luas dan hijau.
Sebetulnya mereka tidak berdebat. Hanya seperti saling menumpahkan kemarahan. Dua pasangan ini sama-sama anggota Partai Republik tapi memilih Kamala Harris. Bukan karena Kamala lebih hebat, tapi karena tidak suka pada Trump.
Trump, kata mereka, perusak demokrasi.
Mereka merasa sangat depresi. Bagaimana bisa seorang kriminal, pembohong, dan berpotensi diktator terpilih sebagai presiden Amerika.
Si soulmate adalah seorang dokter. Ahli bedah jantung dan pembuluh darah. Tinggalnya di Sacramento, kota kecil yang jadi ibu kota California. Ternyata mereka sudah sering saling berkunjung. Bulan lalu John yang ke rumah si soulmate di Sacramento. Juga satu minggu di sana.