Cerita Ammar, Warga Palestina yang Berbisnis Cafe di Jakarta
Kafe dengan dekorasi dan bendera Palestina yang berdiri pada tahun 2023 tersebut dijalankan oleh Ammar Abu Ali bersama kakaknya, di mana setiap 5 persen dari hasil penjualan mereka setiap hari disumbangkan untuk Palestina.
Agresi Israel ke Jalur Gaza yang tak kunjung berhenti sejak 7 Oktober 2023 menimbulkan penderitaan tak terkira bagi rakyat Palestina yang mendapati Tanah Airnya kini di ambang kehancuran.
Serangan tersebut sudah menewaskan hampir 43.800 orang, yang sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 103.600 lainnya luka-luka. Sayangnya, jumlah tersebut tak berhenti bertambah karena Israel masih terus menggempur Gaza dengan kejinya.
Meski dihujani kecaman dan kutukan komunitas internasional, berbagai organisasi dunia, bahkan tuntutan hukum di pengadilan internasional, tak ada tanda-tanda Israel mau menghentikan aksinya di Palestina – mereka justru semakin beringas.
Agresi Israel ke Gaza pun memaksa jutaan warga Palestina mengungsi ke tempat aman yang jumlahnya semakin menyusut di Gaza akibat serangan bertubi-tubi pasukan Zionis. Tak sedikit pula yang akhirnya terpaksa mencari tempat aman di luar negeri mereka. Salah satunya adalah Ammar Abu Ali beserta keluarganya yang memilih mencari aman dengan keluar dari Jalur Gaza. Ia adalah segelintir orang yang beruntung bisa mengungsi ke luar Gaza sebelum pintu perbatasan Rafah di Gaza Selatan ditutup total.
Ia pun memutuskan untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat amannya, dan ia memulai lembaran baru dalam hidupnya dengan mendirikan sebuah kafe di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, yang bernama Elite’s Cafe.
Tiba di Indonesia
Ammar masih ingat betul kehidupannya di Gaza sebelum pindah ke Indonesia. Ia mengaku pekerjaan terakhirnya di Gaza adalah menjadi guru ilmu sosial dan bisnis di sebuah sekolah menengah internasional dengan sekitar 500 siswa.
“Kehidupan di Gaza semarak dan berkembang, keadaan saat itu sangat baik,” kata dia saat menceritakan situasi di Gaza sebelum serangan Israel. Hidup berjalan seperti biasa, ucapnya.
Mengakui kondisi keamanan Gaza yang kurang stabil, Ammar berkata sudah maklum jika situasi keamanan memburuk akibat kontak senjata yang hampir konstan antara Hamas dan Israel.
Hal tersebut terjadi hampir setiap tahun, namun setiap kali terjadi biasanya akan reda dalam hitungan bulan, kata dia.
Namun, ia tak menyangka bahwa serangan Israel ke Gaza kali ini tak seperti biasanya. Ditunggu satu-dua bulan tak berhenti, bahkan sudah berlalu setahun pun belum berhenti juga.
Serangan Israel yang begitu masif kali ini memaksanya mengungsi dari tempat tinggalnya di Khan Younis ke selatan, hingga akhirnya menepi ke Rafah. Ammar bercerita, hidup di tenda pengungsian begitu sulit: Mandi hanya bisa dilakukan delapan hari sekali dan hanya tersedia makanan kaleng selama berbulan-bulan akibat blokade Israel.