Oleh: Dahlan Iskan
JAMBIEKSPRES.CO - Sejak terbang dari Chicago pikiran saya buntu. Saya tidak segera menemukan topik untuk diskusi dengan para ketua pengadilan. Waktunya: sehari setelah saya tiba di Indonesia. Kamis lalu. Di Surabaya.
Penyelenggara acara itu Mahkamah Agung. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum.
Topiknya terlalu menarik: perubahan. Yang wajib hadir adalah para ketua pengadilan se-Indonesia. Yang se-Jatim hadir langsung. Selebihnya lewat zoom.
Pikiran saya buntu karena satu hal: menemukan ide bagaimana memulai perubahan. Terlalu banyak yang harus diubah.
Saking banyaknya sudah seperti benang ruwet. Ujung benangnya sudah menyatu dengan pangkalnya. Bahkan mbundel sekalian dengan jarumnya.
BACA JUGA:Pengadilan Negeri Sengeti Eksekusi Lahan di Kasang Pudak, Muaro Jambi
Pun seandainya seluruh hakim mau berubah. Belum akan menyelesaikan persoalan. Benang ruwet itu sudah bercampur dengan benang ruwet di seluruh lembaga hukum. Bundelannya banyak. Ruwet semua. Menyatu padu. Baku ruwet.
Maka hanya sebuah ceramah tidak akan ada gunanya. Hanya akan menjadi sebutir jarum di tumpukan jerami. Saya sudah agak lama tidak percaya lagi efektivitas ceramah. Dari pada ceramah pilih balik saja lagi ke Chicago.
Tapi pesawat tidak bisa diputar balik. Saya pun mendarat di Jakarta. Ke Bandung sebentar. Lalu ke Surabaya. Dari bandara Juanda sudah dijemput untuk ke acara itu. Buru-buru. Pesawat telat 15 menit.
Saya benar-benar tidak ceramah. Saya minta izin moderator untuk langsung dialog. Baik dengan para ketua pengadilan yang hadir di situ maupun dengan yang di layar zoom.
Yang jadi moderator Hasanudin SH MH, direktur pembinaan tenaga teknis di Ditjen Peradilan Umum Mahkamah Agung.
Saya pun mengajukan topik perubahan yang paling sederhana: bisakah hakim memulai sidang tepat waktu.
Anda sudah tahu: jadwal sidang itu sering seperti jadwal salah satu perusahaan penerbangan di Indonesia.