JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO–Pendidikan dasar di Indonesia perlu berfokus pada pengembangan keterampilan logika dan kemampuan analitis yang lebih mendalam, ketimbang hanya mengutamakan proses hafalan.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Dekan Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), Tanti Novianti, dalam acara Diskusi Publik yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dengan tema Kupas Tuntas Kebijakan Pendidikan dan SDM di Jakarta.
Tanti Novianti menegaskan bahwa pembelajaran di usia dini harus dilandasi oleh pendekatan yang lebih menantang daya pikir peserta didik, dengan tujuan agar mereka terbiasa untuk berpikir kritis dan menemukan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi.
BACA JUGA:Pendidikan Numerasi PAUD Lebih dari Sekadar Angka dan Hitungan
BACA JUGA:Kemendikdasmen Gandeng Polri Tingkatkan Kualitas Pendidikan
Menurutnya, kemampuan untuk berpikir logis dan menganalisis permasalahan jauh lebih penting daripada sekadar menghafal informasi yang mungkin hanya bersifat sementara dan tidak mendalam.
“Yang perlu kita asah sejak dini adalah kemampuan berpikir logis dan analitis. Anak-anak harus dibiasakan untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya dihadapkan dengan soal-soal yang mengandalkan hafalan saja. Pembelajaran harus diarahkan agar mereka mampu berpikir kritis dan memberikan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi,” ujar Tanti dalam diskusi tersebut.
Tanti menekankan bahwa pendidikan dasar berperan sangat krusial sebagai fondasi bagi pendidikan lebih lanjut, baik di tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Pembentukan pola pikir kritis dan kemampuan analisis sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk beradaptasi dengan tantangan yang lebih kompleks pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah penurunan daya nalar anak-anak, terutama di bidang-bidang penting seperti matematika dan ekonomi. Tanti merujuk pada data yang menunjukkan penurunan hasil tes internasional, seperti yang tercatat dalam Programme for International Student Assessment (PISA), yang mengukur kemampuan sains, matematika, dan membaca di kalangan siswa berusia 15 tahun di seluruh dunia.
Menurut Tanti, salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap penurunan daya nalar adalah rendahnya kemampuan membaca di kalangan anak-anak. Sebagian besar anak-anak lebih sering menjelajahi internet untuk mencari informasi cepat, yang sering kali hanya berupa potongan informasi yang kurang mendalam.
Kondisi ini menyebabkan mereka kurang terbiasa untuk berpikir kritis dan memahami konteks dari informasi yang mereka peroleh.
“Anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di internet, mencari informasi yang singkat dan mudah, tetapi tidak memahami sepenuhnya informasi tersebut. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan menganalisis secara mendalam,” kata Tanti.
Selain masalah kemampuan membaca, Tanti juga menyoroti penurunan keterampilan dasar lainnya, seperti matematika. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, termasuk penggunaan kalkulator dan aplikasi matematika di ponsel, anak-anak menjadi semakin jarang melatih kemampuan berhitung manual.
Padahal, menurut Tanti, latihan dasar seperti menghafal tabel perkalian dan melakukan perhitungan secara manual adalah hal yang sangat penting untuk membangun pondasi logika yang kuat.
“Dulu, kita sering diminta untuk menghafal tabel perkalian atau melakukan perhitungan manual. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal membangun dasar kemampuan logika. Sekarang, dengan kemudahan teknologi, anak-anak jadi lebih mudah mencari jawaban tanpa melibatkan proses berpikir yang mendalam,” jelasnya.