Kelong –Anda sudah tahu– adalah bahasa Melayu untuk restoran yang terapung di atas laut. Di dekat pantai.
Saya berterima kasih pada Sulfika Saputra yang membawa saya ke Tanjung Piayau. Kelongnya relatif baru. Di sisi kiri kelong terdapat kolam-kolam kecil. Kolam apung. Ikan yang mau dimakan dipelihara di situ. Ikan hidup. Ikan segar. Sambil menunggu makanan bisa lihat-lihat kolam.
Di kelong ini juga tidak silau. Di seberang kelong ada satu pulau panjang. Pandangan tidak sampai ke laut lepas yang menyilaukan. Pulaunya kosong. Tanpa penduduk. Penuh dengan tanaman hijau. Sejuk dilihat sambil makan.
Saya salah order. Salah lihat gambar makanan. Salah perkiraan ukuran menu. Saya pesan gonggong tiga porsi. Campur udang, kepiting rajungan, cumi-cumi, dan kerang. Pas. Untuk sepuluh orang satu meja.
Ternyata satu porsi saja cukup untuk 10 orang. Makanan itu tidak ditaruh di piring atau panci. Gonggong itu ditaruh di satu baki besar: 25 x 50 cm. Dalamnya 10 cm. Penuh. Kuahnya juga banyak. Uapnya masih mengepul. Makanan panas.
Saya membagi nasi dari satu tanak besar ke piring-piring 10 orang. Saya juga keduk bak itu untuk mencari gonggongnya. Saya bagikan ke mereka. Dengan cara sibuk seperti itu saya sudah bisa kenyang menghirup aromanya.
Saya pun merasa sukses: tidak tergoda makan gonggong satu pun. Saya sudah kenyang gonggong di masa lalu. Sudah tahu rasanya. Sudah tahu pula resikonya.
Siang itu saya sukses pula tidak makan kepiting. Pun tidak makan udang dan kerang.
Saya pilih makan ikan goreng Hongkong. Dan sayur kangkung. Saya ambil agak banyak ikan itu. Lalu saya kembalikan sebagiannya: ikan ini kan digoreng, berminyak. Kangkungnya pun saya kembalikan separo: masaknya terlalu berminyak.
Diam-diam saya berhasil melakukan ajaran kuno: berhentilah makan sebelum kenyang. Saya sudah tidak sukses sehari sebelumnya dan tidak akan sukses pula sehari sesudahnya.
Sukses siang itu lebih karena terbayang roti canai. Di Martabak Har. Sebelum krismon dulu saya sempat punya hotel di dekat situ. Setelah krismon setidaknya saya masih ke roti canai.
Kenangan saya pada Har lebih membekas daripada memiliki hotel. Saya pernah diajak ke pedalaman Thailand naik pesawat pribadi. Pulangnya tiba-tiba mampir mendarat di Batam. Kami ke roti canai itu –membawa pula bungkusannya. Selesai makan balik ke bandara, terbang ke Jakarta.
Ternyata tidak hanya saya seorang yang terobsesi roti canai Har.
Di canai saya merasa setengah sukses: yakni pakai kuah gulainya sedikit. Juga sukses tanpa daging. Caranya: roti chennay itu saya robek sedikit, saya celupkan tipis-tipis ke kuah gulai, masuk mulut. Sukses. Kuahnya sedikit. Tanpa daging. Tapi tidak sukses karena jumlah lembaran canainya.
Yang total gagal adalah saat ke kedai durian. Harus membanding-bandingkan mana yang lebih enak: musanking atau tembaga.
Mula-mula makan musangking. Lalu makan tembaga. Ketika hendak membandingkan, agak lupa seperti apa rasa musangking tadi. Maka kembali merasakan musangking. Saking asyiknya lupa pula seperti apa rasa tembaga tadi. Jadinya harus makan tembaga lagi. Berulang dan berulang.