Pelestarian Budaya Batik Hingga Tembus Pasar Global

Jumat 20 Dec 2024 - 20:57 WIB
Editor : Jurnal

Saat mengunjungi showroom itu lebih dalam lagi, terdapat lokasi tempat mewarnai dan juga membilas batik-batik yang sudah diwarnai. Meski dalam kondisi yang panas karena berdekatan dengan tempat membilas hasil bati yang diwarnai, dua orang pekerja itu tampak nyaman mengerjakan semua.

Membatik yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu itu bukan menjadi mata pencaharian utama mereka. Pekerjaan tersebut hanya sambilan, untuk bisa membantu ekonomi keluarga ketika mereka memiliki waktu yang cukup.

Hal tersebut diambil karena mereka tidak ingin membuang-buang waktu mereka dengan hanya berdiam diri dan juga bergosip, sehingga tidak mendapatkan hasil apapun dari kegiatan tersebut.

Oleh karena itu, desa yang dikenal dengan batiknya itu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat terlebih para ibu-ibu untuk mengerjakan batik demi menghindari kegiatan tidak bermanfaat.

Terlihat, para ibu-ibu yang jauh dari kesan mewah itu memang sangat gembira untuk mengerjakan batik mereka hingga usai, meski dalam waktu yang cukup lama. Dalam menghasilkan satu batik, dirinya mengisahkan bisa sampai 4-5 hari.

Dengan semangat dan ketekunan dari para pembatik di daerah Imogiri itu, batik-batik mereka sudah bisa tembus mancanegara. Terbaru ini, kelompok kerja itu mendapatkan pesanan dari konsumen yang berada di Jepang dan Inggris.

Dengan penerimaan dan pengelolaan yang sangat baik itu, memicu mereka untuk terus berkarya dan juga melestarikan budaya batik selagi mereka mampu melakukan hal tersebut.

Batik yang mereka kerjakan dihargai sebesar Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta per lembar kain. Hal tersebut dikarenakan kerumitan dalam membuat batik tulis. Sehingga, harga tersebut setimpal dengan beban kerja yang mereka lakukan setiap harinya.

Peradaban modern membuat generasi muda lebih memilih pekerjaan dengan jenjang karir dan mendapat gaji tetap seperti menjadi karyawan swasta atau ASN sehingga sulit mencari generasi muda yang terjun ke bisnis batik tulis.

Hal itu juga yang dikatakan oleh Pengurus Inti Kelompok Batik Tulis, Berkah Lestari, Nani Norchayati, bahwa banyak anak muda di wilayahnya justru mencari pekerjaan menjadi buruh pabrik, dengan penghasilan tetap yang menggiurkan bagi mereka. Meski begitu, dia tidak menyalahkan pilihan para generasi muda dalam menentukan pilihan masa depannya.

Hanya saja, dirinya merasa sayang jika generasi muda tidak lagi mau memegang kain dan juga canting sebagai mata pencaharian, sehingga budaya membatik lama-lama akan hilang.

Ia menyadari profesi membatik itu menjenuhkan sementara anak-anak muda zaman sekarang lebih suka setiap hari itu suasananya berubah.

Memang, jika mereka harus belajar membatik dari awal, mereka harus membutuhkan waktu untuk beradaptasi yang tidak sebentar untuk bisa menghasilkan batik yang berkesan dan disukai oleh konsumen dan juga kolektor.

Untuk mengatasi krisis pembatik di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Dinas pendidikan Kota Yogyakarta sudah menyiapkan kurikulum muatan lokal (mulok) berupa pelajaran tari, karawitan dan juga batik. Adanya mulok itu, memberikan nafas panjang untuk menyediakan Sumber Daya Manusia dalam seni batik.

Kurikulum mulok batik akan mengenalkan pelajar seluk beluk batik dan belajar untuk mempraktikkan bagaimana menyiapkan kain, desain dan membuat batik. Diharapkan ada sejumlah pelajar yang berminat menekuni batik bahkan memilih membatik sebagai salah satu jalan hidupnya sehingga, hal-hal yang mereka takutkan akan kepunahan para pembatik tidak terjadi.

Kelompok kerja batik ini terbentuk pascagempa Yogyakarta 2006 lalu. Masyarakat sekitar mendapatkan berkah dengan masuknya Dompet Dhuafa yang mengajak 50 pembatik dengan memberikan bahan-bahan untuk membatik sampai pelatihan membatik, juga memfasilitasi pembentukan organisasi kelompok kera itu.

Kategori :

Terkait