Pelestarian Budaya Batik Hingga Tembus Pasar Global
MEMBATIK: Pembatik dari kelompok kerja Batik Tulis, Berkah Lestari sedang membatik. --
Mengunjungi Desa Imogiri, Kampung Batik di Yogyakarta
Batik Imogiri sudah menjadi Warisan budaya tak benda yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sejak Oktober 2009 lalu. Meski tak dilirik anak-anak muda, warisan dari nenek moyang ini tidak termakan zaman dan juga punah dengan seiring berbagai macam jenis pekerjaan.
MEMANFAATKAN bangunan bekas pabrik kerupuk di desa Karang Kulon, Imogiri, Bantul, Yogyakarta, kelompok kerja Batik Tulis, Berkah Lestari dengan tekun melestarikan kebudayaan batik khas daerah mereka.
Kepulan asap dari dapur tempat menggilas batik yang sudah diwarnai, tidak membuat mereka merasa risih. Justru, para pekerja yang sudah berusia sepuh itu menunjukkan wajah gembira sambil sesekali bercanda dengan rekan kerja mereka.
Lokasi pabrik yang terbagi menjadi tiga area ini, semua dilakukan oleh para kaum ibu-ibu. Lokasi pertama yang menyapa para pengunjung adalah ruang membatik yang terbuka dengan atap besi di atasnya untuk menghindari hujan dan juga terik matahari.
Para pembatik yang sudah rata-rata sudah berusia 50 tahun ke atas, menekuni pekerjaan mereka dengan tekun dan sabar menggunakan canting yang sudah mereka sediakan sebagai alat utama untuk membatik.
Sambil meniup canting yang sudah berisi lilin itu, pembatik dari Berkah Lestari, Siti Hanifah mengatakan kebanyakan batik yang mereka buat lebih banyak motif-motif khas Yogyakarta dengan warna cokelat kehitaman seperti Sido Mukti, Sido Aseh dan juga Wahyu Tumurun.
Siti Hanifah yang sudah membatik sejak muda itu, memiliki kesadaran untuk terus melanjutkan warisan budaya tak benda yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sejak Oktober 2009 yang lalu.
Sehingga, warisan dari nenek moyang ini tidak termakan zaman dan juga punah dengan seiring berbagai macam jenis pekerjaan yang membuat para anak muda enggan untuk menyentuh canting dalam membuat membatik.
Terdapat tiga ibu-ibu yang pada saat itu sedang serius membatik, semua dengan sigap menggoreskan canting yang sudah berisi lilin atau malam untuk digoreskan ke ruang gambar yang sudah disediakan sebelumnya.
Dalam mengerjakan batik ini, para ibu-ibu itu senantiasa melakukannya dengan bergotong royong. Siti Hanifah menjelaskan, pertama-tama dalam membatik mereka harus membuat pola terlebih dahulu.
Jika memang mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menggambar desain awal, mereka melakukan hal tersebut dengan cara kolaborasi dengan ibu-ibu sekitar. Sehingga, ibu-ibu di sana memiliki pemasukan dari membatik.
Bayaranyapun turun temurun seperti sudah ditentukan, misal mereka yang menggambar diberi upah sebesar Rp50 ribu. Sedangkan mereka yang membatik akan diberikan upah sebesar Rp100 ribu.