Oleh: Rini Febriani Hauri
JAMBIEKSPRES.BACAKORAN.CO-Digitalisasi adalah keniscayaan. Era di mana segala sesuatu tereduksi dan tereduplikasi dalam bentuk fail, perangkat lunak atau program, serta aplikasi yang lebih praktis dan efektif. Kondisi ini menandai terjadinya pergeseran dan perubahan wujud dari yang fisik (manual) ke bentuk nonfisik (kode, citra, simbol, aplikasi; yang mengidentifikasi hadirnya bentuk digital).
Dalam kondisi tersebut, persoalan informasi dan pengetahuan pun menjadi pertaruhan. Ketika dunia digital memberikan pangkalan data dari berbagai informasi serta pengetahuan praktis, hal ini pun menunjukkan adanya geliat baru akan munculnya model-model pengetahuan praktis dalam bidang-bidang keilmuan yang ada. Pertanyaannya adalah apakah internet mampu menjadi media transfer pengetahuan yang efektif dibandingkan dengan model pengetahuan tradisional?
Tidak dipungkiri bahwa pengetahuan di era digital sudah bergerak pada mode virtual, bahkan e-learning. Model pengetahuan jarak jauh yang mampu diakses siapa saja dan kapan saja dengan berbagai syarat serta ketentuannya. Sayangnya di Indonesia, kondisi ini masih menimbulkan problematika mendasar. Terutama persoalan pengetahuan yang secara akademik terkait dengan kebutuhan referensial. Permasalahan ini seolah menjadi bumerang dalam wilayah pendidikan ketika membanjirnya informasi dan pengetahuan secara praktis di internet. Mengapa demikian? Realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah perkembangan era digital yang hadir tidak diimbangi dengan pemahaman atas prasyarat yang ada. Dalam artian, terkait persoalan referensi untuk mendukung informasi maupun pengetahuan subjek, pemelajar tidak dibekali oleh pemahaman menentukan kualitas dan sumber referensi yang terpercaya.
Sebagai misal, seorang siswa ketika diberikan tugas membuat makalah atau tulisan ilmiah tertentu tidak lagi memakai cara tradisional atau manual, melainkan tinggal ketik dan cari di mesin pencari. Selanjutnya, disalin dan ditempelkan tanpa diverifikasi terlebih dahulu sumber dan laman referensinya. Ada beberapa alasan yang kemudian mendasari situasi ini, misalkan saja tidak adanya pemahaman literasi digital dalam mencari referensi. Tidak tersedianya buku-buku yang bisa diakses secara mudah, tidak mau repot berpikir sekaligus membaca, serta tidak memiliki kepercayaan diri atas kompetensi rasio/nalar akademiknya.
Pemahaman atas referensi inilah yang menimbulkan tafsir yang cenderung salah kaprah dan cara berpikir praktis dalam dunia pendidikan. Tidak asing lagi, kemudian jika suatu ketika kita mendengar ada kasus sitasi (citation), salin tempel (copy paste), plagiarisme diri (self plagiarism), bahkan plagiasi terhadap karya orang lain di wilayah akademik. Betapa tidak, di era digital yang serba tumpang tindih ini, referensi saling menyaru satu sama lain, bahkan rujukan-rujukan terhadap bidang-bidang keilmuan tersebut sudah demikian banyak terduplikasi di berbagai laman internet.
Referensi tentu saja bukan lagi suatu hal yang mustahil untuk diperoleh, apalagi melalui mesin pencari di internet. Hampir semua bidang dan kajian sudah tersedia di internet. Sementara tantangan yang menjadi problem akademik adalah bagaimana mengembangkan pengetahuan di wilayah digital dan virtual agar mencapai hasil yang baik? Pertanyaan tersebut harus dipahami sebagai sebuah kerangka paradigma tentang bagaimana dunia pendidikan mampu memberikan kualifikasi referensial keilmuan dan terverifikasi secara tepat. Dalam arti, bahwa siswa diarahkan untuk mengetahui referensi yang terpercaya dan valid secara akademik.
Fenomena referensi yang populer di wilayah digital adalah laman wikipedia. Bagi siswa, laman ini sudah tidak asing apalagi terkait dengan hipertaut atau pranala informasi praktis. Sebagaimana dikutip dari laman Wikipedia Indonesia, bahwa wikipedia adalah sebuah laman yang berisi proyek ensiklopedia multibahasa dalam jaringan bebas dan terbuka yang dijalankan oleh Wikipedia Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berada di Amerika Serikat. Sebagai sebuah ensiklopedia, tentu wikipedia menjadi sebuah laman yang sangat membantu dalam menyajikan rujukan tentang informasi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sebagai sebuah rujukan, wikipedia bisa dikategorisasikan sebagai rujukan awal atau pranala yang menampilkan gambaran kronologi pengetahuan sekilas yang diambil dari sumber-sumber primer, seperti buku, arsip, maupun dokumen asli yang dicantumkan di bagian akhir atau referensinya. Melalui artikel-artikel yang dikelolanya, wikipedia menjadi rujukan oleh sebagian besar pengguna internet, bahkan juga dari kalangan civitas akademik.
Masalah mendasarnya adalah artikel yang sebagian menggunakan model hipertaut sebagai cara penyajiannya tersebut tentu bukan menjadi rujukan baku. Selain itu, dengan kebebasan seorang kontributor atau penggunanya dalam menciptakan artikel, ada kecenderungan bahwa informasi atau pengetahuan tersebut tidak lagi objektif, melainkan subjektif. Padahal, salah satu syarat pengetahuan yang berlandaskan keilmuan (bisa dibedakan dari yang nonkeilmuan) adalah terletak pada objektivitasnya.
Wikipedia sebagai pengelola artikel hanyalah penyedia ringkasan atau semacam informasi sekilas dari suatu topik pengetahuan dengan mengacu pada berbagai sumber referensinya. Bisa dikatakan bahwa melalui wikipedia kita bisa memperoleh informasi awal. Namun, jika kita hendak mengetahui lebih lanjut perihal definisi, konsep, epistemologi, bahkan esensi dari suatu pengetahuan, maka disarankan mengacu pada referensi-referensi yang ditautkan di bagian sumber referensinya.
Sebuah pemahaman literasi yang tidak memadai secara mendasar pada era digital tak ubahnya seperti sebuah kotak pandora yang memancarkan ketakjuban tiada henti di tengah gelombang informasi. Perlu adanya pendampingan terhadap pemahaman sumber referensial di wilayah akademik, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Hanya melalui pendampingan dan pemahaman terhadap sumber referensi akademik yang terpercaya marwah pendidikan serta keilmuan akan tetap objektif dan independen di tengah simulasi-simulasi pragmatis yang semakin masif.
Literasi digital adalah tolok ukur bagi pertumbuhan pengetahuan yang terintegrasi dengan sumber daya manusia di era industri 5.0. Apabila hal ini tidak disiapkan dan kita salah kaprah mendampingi serta mengarahkan generasi milenial dan gen-Z secara kritis, niscaya kecerdasan manusia akan tergantikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang digadang-gadang lebih menjanjikan. Era siber dan dunia pascamanusia sudah dimulai, dan kita perlu menyiapkan diri sebelum segalanya terlambat.
Biodata Penulis
Rini Febriani Hauri, tinggal di Jambi. Menulis beberapa buku puisi dan prosa. Saat ini berkegiatan sebagai pengajar dan kreator konten.