Pulang Kampung

Kamis 14 Dec 2023 - 19:07 WIB
Editor : Adriansyah

Oleh: Nanda Ray

MENYEBALKAN sekali harus menerima telepon saat aku sedang asyik menonton drakor. “Lagi-lagi Ibu,” gumamku. 

Aku menolak telepon yang masuk di ponselku. Lalu melanjutkan menonton drama kesukaanku.

Tuuut ... tuuut ....

Ponselku terus saja berdering, membuat telingaku risih mendengarnya. Ah, pasti Ibu menyuruhku segera pulang kampung, batinku. 

Aku hari ini sedang badmood karena Ibu terus saja menelepon dan mengirimkan pesan kepadaku, memintaku segera pulang kampung padahal tidak ada hal penting yang mengharuskanku pulang. Liburan kuliah semester ini aku ingin di sini saja, di kota. Di kampung itu membosankan, tidak ada mal untukku berbelanja atau sekadar berswafoto dengan barang-barang branded dan dipamerkan ke media sosialku. Lagi pula, aku sudah memiliki banyak teman di sini, di perantauan. 

Aku suka berada di kota, suka dengan keramaiannya, orang-orangnya yang gaul dan modis, banyak kafe tempat nongkrong pemuda-pemudi yang keren. Setelah lulus kuliah aku berencana menetap di kota ini saja. Akses apa pun mudah didapat: kesehatan, perpustakaan, sekolah, pusat belanja, tempat rekreasi, dan lainnya. Aku tidak akan mengabdikan diri di kampungku, lingkungannya sangat tidak baik. 

Bayangkan saja, semester lalu saat aku pulang kampung, tetanggaku sibuk bertanya kapan wisuda? Sudah punya calon suami belum? Ingat, nanti umurnya kelewat loh! Aku sangat risih mendengarnya. 

Pertanyaan itu awalnya kuanggap sebagai bentuk perhatian mereka, sebelum mereka membandingkan aku dengan perempuan seusiaku, Rini—anak tetangga yang rumahnya berada tiga rumah dari rumahku—yang sudah lulus kuliah dan sekarang mungkin sudah mau punya anak dua.

Ibu sama sekali tidak membelaku ketika ada tetangga jahil yang membandingkan aku dengan Rini. Ibu justru ikut-ikutan melakukan hal serupa. Ingin rasanya aku menempatkan Ibu di posisiku, membandingkan ia dengan janda beranak tiga di sebelah rumah, yang baru cerai lima bulan tetapi sudah menikah lagi. Sementara Ibu sudah lama ditinggal Bapak, tapi belum juga menemukan pengganti. Bodoh sekali Ibu, berusaha setia pada Bapak yang sukanya mabuk-mabukan, menghabiskan uang di meja judi, pulang-pulang muka bonyok karena dikeroyok orang yang kesal dengan tingkahnya yang sok jagoan saat mabuk, suka memukuli Ibu saat kesal entah kepada siapa. Bahkan ketika lelaki dungu itu mati, Ibu masih saja mau  mengurus jenazahnya, ziarah ke makamnya seminggu sekali, hingga hari ini.

Tuuut ... tuuut ....

Ya, ponselku berdering lagi. Ini pasti ibuku yang cerewet itu. Ya, Tuhan! Mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang ibu yang cerewet sekali? Apakah hanya dia satu-satunya perempuan yang bersedia rahimnya aku pinjam untuk tubuhku yang dahulunya mungil? Apakah tidak ada pilihan lain, Tuhan? Kali ini aku sudah sangat kesal karena Ibu selalu meneleponku. Akhirnya aku putuskan untuk mengangkat telepon dari Ibu.

“Kenapa lagi, Bu? Sudah kubilang aku tidak akan pulang liburan kali ini,” ucapku menggantikan salam pembuka.

“Nak, Ibu rindu! Pulanglah! Biar Ibu pesankan tiket pulang, ya, Nak!”

“Tidak usah, Bu! Aku ingin di sini saja!” jawabku ketus.

Tags : #cerpen
Kategori :

Terkait

Kamis 14 Dec 2023 - 19:07 WIB

Pulang Kampung