Kebijakan Libur Sekolah Ramadhan 2025, Prof. Iskandar: Peluang Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter
Prof. Iskandar Nazari, seorang Pakar Psikologi Pendidikan--
MUARO JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO–Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sedang mematangkan wacana untuk meliburkan kegiatan sekolah selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan tahun 2025.
Wacana ini muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk memberikan kesempatan bagi siswa dan guru dalam menjalankan ibadah secara lebih khusyuk, serta mempertimbangkan dinamika proses belajar yang dinilai kurang efektif selama bulan puasa.
Pembahasan mengenai libur sekolah pada bulan Ramadhan kembali menghangat, seiring dengan semakin dekatnya bulan suci tersebut.
Kebijakan ini, yang pernah diberlakukan pada era Presiden Abdurrahman Wahid, kini menuai beragam pendapat dan menjadi sorotan publik, terlebih terkait dengan masa depan pendidikan di Indonesia.
Prof. Iskandar Nazari, seorang pakar psikologi pendidikan, memberikan pandangannya terkait hal ini.
Menurutnya, bulan Ramadhan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai jeda dari kegiatan akademik, tetapi sebagai kesempatan untuk memperkuat sisi ruhani peserta didik, yang menurutnya semakin terpinggirkan oleh perkembangan teknologi dan fokus yang berlebihan pada pengembangan intelektual.
“Ramadhan adalah momen yang sangat berharga untuk membentuk generasi yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Di tengah gempuran dunia digital yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moral, pendidikan yang berfokus pada pengembangan ruhani adalah solusi yang sangat diperlukan,” ujar Prof. Iskandar.
Sebagai bulan penuh berkah, Ramadhan, kata Prof. Iskandar, memiliki potensi besar untuk memberikan transformasi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Ia menekankan pentingnya memanfaatkan Ramadhan sebagai waktu untuk memperkaya pendidikan karakter, dengan lebih banyak mengajarkan siswa tentang ibadah dan nilai-nilai keagamaan.
“Selama sebelas bulan, pendidikan di sekolah lebih banyak berfokus pada pengembangan intelektual. Namun, Ramadhan adalah kesempatan untuk lebih mendalami sisi spiritual melalui amalan seperti salat, tadarus Al-Qur'an, dan kegiatan sosial berbasis nilai-nilai agama,” jelasnya.
Prof. Iskandar juga mengutip pendapat Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, yang mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada rasio (akal), tetapi juga rasa (hati).
"Pendidikan yang benar adalah yang mengalir dari hati, bukan hanya akal. Guru yang mendalami ibadah akan lebih mudah menyampaikan materi dengan penuh ketulusan, yang kemudian akan sampai di hati murid-murid mereka," paparnya.
Menurutnya, pendidikan di Indonesia saat ini terlalu menekankan pada kecerdasan intelektual, sementara aspek ruhani sering kali diabaikan.
"Jika pendidikan hanya mengasah otak, maka yang hilang adalah nilai-nilai luhur yang seharusnya membentuk karakter anak bangsa," tambahnya.
Prof. Iskandar juga mengingatkan bahwa dampak teknologi yang pesat, terutama media sosial, telah mengubah pola perilaku anak muda, yang sering terjerumus ke dalam masalah sosial seperti narkoba, kekerasan, hingga perundungan.
Ia menyebutkan bahwa krisis spiritualitas ini mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan yang terlalu fokus pada kecerdasan intelektual.
“Pendidikan yang tidak mengintegrasikan nilai-nilai spiritual akan menghasilkan generasi yang cerdas, tetapi rapuh secara moral dan spiritual,” jelasnya.
Terkait wacana libur sekolah selama Ramadhan, Prof. Iskandar berharap pemerintah, lembaga pendidikan, dan orang tua bisa bekerja sama untuk merancang kebijakan yang memberikan ruang bagi pengembangan spiritual peserta didik.
Ia juga mengusulkan agar Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bisa merancang program yang mengintegrasikan kegiatan akademik dan spiritual selama Ramadhan.
“Libur selama Ramadhan harus dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk mendalami sisi ruhani. Kita butuh pendekatan pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan spiritual,” tutupnya.
Namun, jika libur penuh tidak diterapkan, Prof. Iskandar menyarankan agar sekolah dan madrasah mengintensifkan kegiatan berbasis ruhani selama bulan puasa.
"Bahkan tanpa libur penuh, kita tetap bisa menjadikan Ramadhan sebagai waktu strategis untuk memperkuat fondasi spiritual generasi muda," tambahnya. (*)