SAMPAI kemarin, soal utang emas 1,1 ton belum juga ada perkembangan baru. Saya mencoba kembali menjadi reporter: belum berhasil.
Di saat masih sulit membayar ''utang tulisan'' itu ada dewi penolong.
Saya memanggilnya Mbak Yani. Pernah jadi anak buah: di bagian keuangan, khususnya yang mengurus kas-bon karyawan.
Bertahun tidak jumpa, tiba-tiba Mbak Yani mendaftar sebagai relawan Vaksin Nusantara. Orangnya pendiam. Kalem. Kulit bening. Rambut sebahu. Berkacamata.
Suatu saat Mbak Yani kirim komentar soal artikel di Disway. Lewat WA. Mungkin baru sekali itu seumur hidupnyi menulis komentar.
Saya pun membalas: kenapa tidak diposting di kolom komentar. Dia bilang singkat: malu. Merasa tidak layak.
"Masih jauh dari komentar-komentar dari pembaca Disway yang lain," jawab Mbak Yani.
Saya pun minta dia terus menulis. Saya lihat tulisannya kian baik. Sekali waktu saya tampilkan di Disway. Kian lama Mbak Yani kian sering menulis. Dikirim ke WA saya. Belum juga berani ke kolom komentar.
Suatu saat saya memanggilnyi ''Bu Yani". Langsung saya kena K.O: "tiba-tiba saya merasa tua", tulisnyi. Sejak kena K.O. itu saya harus ingat untuk memangilnyi Mbak Yani.
Agar hari ini Disway berisi tulisan tentang emas, maka saya muatkan tulisan Mbak Yakni ke WA saya –tanpa izin beliau.
Cobalah para perusuh menilai: layakkah masuk kolom komentar. Siapa tahu, kalau perusuh yang mengatakan beliau lebih pede. Inilah tulisan Mbak Yani.(Dahlan Iskan)