Jelaskan Soal Kegunaan Ijazah, Hingga Beri Motivasi ke Siswa

Sabtu 27 Jan 2024 - 14:20 WIB
Editor : Jurnal

Kalau guru pada umumnya banyak yang mengingatkan anak muridnya agar tidak berpacaran saat usia sekolah, Yulis justru menyarankan Ai untuk punya pacar teman satu sekolah.

Kata Yulis kepada Ai, kalau di sekolah punya pacar, mungkin akan menjadi penyemangat bagi dia rajin masuk kelas. Tentu saja saran Yulis itu hanya sebatas guyonan, ketika si guru kehabisan bahan untuk memotivasi muridnya.

Bagi masyarakat perkotaan, motivasi memiliki ijazah, minimal setingkat SLTA, mungkin sudah biasa. Ijazah SMK di kota bisa digunakan untuk melamar pekerjaan. Berbeda dengan masyarakat desa, apalagi yang tinggal di lereng gunung. Bagi mereka, ijazah SD dengan SLTA, hampir tidak ada bedanya.

Paradigma berpikir komunal seperti itulah yang ditangkap oleh Erni dan Yulis, sehingga mereka tidak mudah untuk merayu muridnya semangat bersekolah kembali hingga mendapatkan ijazah.

Kasus Ai hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Erni dan Yulis dalam menjalankan tugas sebagai "pahlawan tanpa jasa" dengan penuh dedikasi dan komitmen untuk mengantar anak didiknya menyadari pentingnya pendidikan.

Erni dan Yulis mengaku pernah "patah hati" ketika menghadapi muridnya yang tidak mau kembali ke sekolah, sekitar sebulan sebelum ujian akhir.

"Saya betul-betul merasa patah hati, saat itu. Masalahnya, si anak masih ingin menyelesaikan pendidikan hingga mendapatkan ijazah, tapi orang tuanya bersikukuh untuk menikahkan anak perempuannya itu. Rasanya pingin nangis saya," kata Yulis, yang juga diiyakan Erni.

Saat itu, Erni dan Yulis mendatangi rumah murid perempuan itu yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Kedua guru itu baru tahu bahwa orang tua si siswa sudah mengikat janji dengan orang tua tunangan si anak.

Karena sudah menyepakati hari dan tanggal pernikahan, orang tua siswa itu tidak mau mengundur jadwal pernikahan, meskipun anaknya masih ingin menyelesaikan sekolah.

Erni dan Yulis menyarankan orang tua si murid agar pernikahan dilakukan secara agama terlebih dahulu, sebelum dicatat resmi di kantor urusan agama (KUA).

Orang tua siswa bergeming, dengan mengemukakan berbagai alasan, misalnya sudah telanjur mendapatkan "hari baik" dari tokoh agama di desa untuk pernikahan, termasuk sudah memesan berbagai sarana untuk resepsi pernikahan. Selain itu, calon menantu mengancam akan meninggalkan anak perempuannya jika pernikahan itu ditunda.

Di situlah Erni dan Yulis terjebak dalam rasa bersalah berkepanjangan karena gagal menyelamatkan siswanya dari jeratan pernikahan dini.

Begitulah tantangan sekaligus perjuangan guru yang bertugas di perdesaan. Guru dan sekolah harus betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom bagi anak didiknya.

Mereka tidak bisa bertindak semena-mena memberikan "hukuman" bagi siswa yang sudah kehilangan semangat untuk belajar dan beberapa hari tidak masuk sekolah tanpa izin, sebagaimana banyak dipraktikkan di sekolah wilayah kota.

Bukan hanya mencurahkan tenaga dan waktu untuk mengajak siswa kembali ke sekolah. Tidak jarang Erni dan Yulis mengeluarkan biaya pribadi untuk merayu siswanya semangat kembali ke sekolah.

Bahkan, Erni pernah harus rela menjemput dan mengantarkan pulang muridnya yang awalnya tidak lagi berniat melanjutkan sekolah karena alasan masalah transportasi. Secara jarak, rumah siswa dengan sekolah paling jauh hanya 15 km. Karena kondisi infrastruktur jalan yang tidak mulus, perjalanan itu memakan waktu, antara 1 hingga 1,5 jam.

Kategori :