Di situ mereka menyenangi masakannya tapi tidak meminati lokasinya. Padahal sudah saya jelaskan: betapa bagus bisnis teman saya itu. Ia mampu membangun resto dua tingkat di atas tanah sewa 15 tahun. Pakai lift. Atas biaya sendiri. Di luar harga kontrak 15 tahun yang dibayar tiap lima tahun. Bayar di muka.
Mereka tetap pilih buka di mal.
Sebagai orang asing mereka tidak tahu hukum dan adat di Indonesia. Mereka tidak mau ambil risiko yang di luar perkiraan. Dengan membuka resto di mal urusannya tinggal dengan pemilik mal.
Maka saya ajak mereka ke berbagai mal. Saya tinggalkan mereka di situ. Beberapa jam. Biarlah bebas berimajinasi. Saya tidak mau banyak menjelaskan. Mereka lebih tahu dunia mal dan resto.
Pada jam yang dijanjikan mereka saya jemput. Pindah ke mal lainnya.
"Kita makan dulu," kata saya.
"Kami sudah makan. Sudah kenyang. Seluruh resto di mal ini sudah kami coba," tambahnyi.
Tentu tidak mungkin semua. Saya tahu maksudnya: lebih tiga restoran sudah dicoba.
"Ada kesulitan?"
"Tidak ada," jawabnyi.
Saya khawatir. Awalnya. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi saya sadar: banyak orang Tionghoa di mal itu. Biarlah mereka belajar mengatasi persoalan dasar di negara asing: komunikasi.
Tinggal saya yang kelaparan. Alhamdulillah. Upaya tetap langsing tidak terganggu oleh sopan santun di depan tamu.
Dua minggu kemudian mereka datang lagi. Kali ini saya tidak perlu repot memilihkan hotel. Mereka sudah pesan sendiri kamar hotel yang mereka mau: hotel di dalam mal.
Mereka ternyata sudah menentukan mal mana yang diincar. Lalu ingin menyelami perilaku mal tersebut siang malam. Dengan cara tinggal di situ. Mungkin juga ingin makan di semua restonya.
"Bagaimana harga makanan di sini? Mana lebih mahal dari di Tiongkok?"
"Sama dengan harga di Beijing. Tapi lebih mahal sekitar 20pCt dari Chengdu," katanyi.