Oleh: Dahlan Iskan
SAYA perhatikan tamu saya yang lagi makan: hanya sedikit mengambil nasi. Begitu juga keesokan harinya.
''Kenapa?''
''Nasi di sini kurang enak,'' jawabnya. ''Maafkan,'' tambahnya buru-buru.
''Iya. Benar,'' sahut teman wanitanya.
Baru sadar: sudah 15 tahun terakhir saya pun harus memuji nasi di semua resto di Tiongkok. Punel. Wangi. Yang seperti itu dulu hanya saya temui di Jepang. Lalu di Korea. Kini Tiongkok ikut selera nasi Jepang.
Saya juga ingat: sekitar 20 tahun lalu. Hanya satu wilayah di Tiongkok yang punya ''nasi Jepang''. Yakni provinsi Heilongjiang. Dongbei. Pojok timur laut Tiongkok. Dekat Rusia-timur. Juga dekat bagian utara Korea Utara.
Saya masih ingat setiap kali ke Harbin –ibu kota Heilongjiang– pulangnya selalu diberi oleh-oleh beras Harbin: 5 kg.
Meiling adalah orang Harbin. Kawin dengan lelaki Singapura –ikut warga negara suaminyi. Kini lebih sering Meiling yang ke Indonesia.
BACA JUGA:Bukan Komeng, Ternyata Ini Sosok Caleg DPD Peraih Suara Terbanyak di Indonesia
BACA JUGA:Update Sirekap: Persaingan Diinternal Nasdem Super Ketat, Fasha Makin Terdesak dan SAH Optimis
Begitu cepat wabah ''nasi Harbin'' menjalar ke seluruh Tiongkok. Begitu cepat selera orang di sana berubah –mengikuti kemajuan ekonomi mereka. Begitu mudah mereka melupakan rasa nasi lama.
Meski sering makan nasi ala Harbin saya tidak sampai melupakan rasa nasi lama. Saya tidak mengharuskan istri membeli beras kelas itu. Terima kasih lidah. Anda begitu fleksibel. Dapat nasi Harbin Alhamdulillah. Pun ketika dapat nasi dapur istri saya.
Fleksibilitas lidah itu bersumber dari ekspektasi. Dugaan saya: lidah bisa fleksibel karena tidak pernah punya ekspektasi bisa selalu makan nasi Harbin.
Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.