Perempuan Kamoro Merajut Noken Demi Cita-cita
MAMA Maria salah seorang anggota Suku Kamoro merajut noken untuk membantu perekonomian keluarganya. Seperti apa ceritanya?
SORE itu menujukkan pukul 17.45 WIT, seorang perempuan paruh baya berdiri menggenggam kantong kresek merah berukuran besar. Sambil tersenyum dia melambaikan tangan memberi isyarat memanggil ojek.
"Mama datang dari Koperapora untuk jual noken di sini anak. Mama biasa naik ojek saja, tidak ada yang antar karena mama punya anak-anak sekolah di Tanah Jawa," kata Mama Maria, seorang perajin noken asal Suku Kamoro, itu, saat berbincang bersama ANTARA di Sp 3 Timika.
Noken merupakan kehidupan bagi Mama Maria dan keluarganya. Dari hasil rajutan noken yang dijual berkeliling Kota Timika, sangat membantu perekonomian keluarga.
Mama Maria biasa merajut noken sendiri, terus berjalan keliling Timika, dari rumah ke rumah untuk menjual hasil kerajinannya. Keliling kota dipilihnya karena kalau duduk di satu tempat, belum tentu ada pembeli.
Hasil rajutan noken Mama Maria terdiri atas bermacam bentuk, mulai dari yang berukuran besar, sedang, hingga ukuran kecil untuk sarung telepon seluler.
Meskipun tidak berpendidikan tinggi, perempuan itu manyadari kemampuan yang dianugerahi oleh Tuhan sebagai berkah. Anugerah keterampilan itu ia maksimalkan untuk menghasilkan uang, sehingga bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari serta menyekolahkan anak-anak.
Noken bagi masyarakat Papua merupakan simbol kesuburan, cinta, kedamaian, dan kedewasaan. Noken untuk laki-laki berbeda dengan noken yang biasanya digunakan oleh perempuan.
Noken yang biasa digunakan laki-laki berukuran kecil sedangkan noken perempuan berukuran besar karena biasa digunakan untuk menggendong anak dan juga untuk membawa hasil kebun.
Sejak masa remaja Mama Maria sudah diajari merajut noken oleh orang tuanya. Mama Maria sangat bersyukur karena keahliannya ini dapat berguna saat ini untuk menyambung hidup.
Dengan ramah Mama Maria melanjutkan ceritanya bahwa saat ini hanya dirinya dan suami yang tinggal di Kota Timika, sedangkan kedua anaknya sedang bersekolah, sehingga tidak dapat bersama-sama dengan orang tuanya.
Anak pertamanya kuliah di Tanah Jawa, karena sejak dari masa sekolah menengah pertama (SMP) sudah bersekolah di Jawa.
Sementara anak keduanya saat ini sedang menempuh pendidikan SMP dan tinggal di asrama. Mengingat kondisi ekonomi yang terbatas, maka anak keduanya harus masuk asrama agar lebih fokus dengan pendidikannya.