Selanjutnya, batu bara dibawa dengan kapal menuju tempat-tempat lain di Hindia Belanda, atau kemudian Indonesia, dan belahan dunia lain sebagai sumber energi yang menghidupkan industri dan transportasi.
Sayangnya, di balik peran batu bara yang telah menerangi Sawahlunto, masa penjajahan Hindia Belanda kala itu juga turut memberikan kisah pedih. Pasalnya, bongkahan batu bara dikeruk oleh para kuli kontrak, pekerja lepas, serta para tahanan tanpa nama yang disebut "orang rantai".
Sebutan "orang rantai" ditujukan untuk para tahanan yang dikirim langsung dari berbagai wilayah jajahan Hindia Belanda di Tanah Air untuk kerja paksa (rodi) di tambang Ombilin. Alih-alih nama, para tahanan yang dirantai selama kerja paksa itu ditandai dengan urutan nomor yang mereka bawa hingga akhir hayat.
Para pekerja rodi itu dipaksa untuk bekerja di dalam lubang bawah tanah yang gelap dan menyesakkan hingga mengembuskan napas terakhir. Mereka yang mencoba melarikan diri dihukum cambuk dan dipenjarakan. Bahkan, hingga kini, hanya batu nisan dengan identitas nomor saja yang tersisa dari sejarah orang rantai.
Berdasarkan pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudrisktek), atas pertukaran teknologi pertambangan yang dilakukan Belanda di daerah jajahannya serta tantangan ekstrem alam yang dihadapi, UNESCO menilai pembangunan tambang batu bara Ombilin dan jalur kereta api merupakan sebuah "misi mustahil" yang berhasil ditunaikan.
Ada nilai universal luar biasa dalam proses pembangunan dan masa eksploitasi tambang batu bara berlangsung pada zaman kolonial. Dan, ketika tambang batu bara itu sudah berhenti, nilai universal itu tetap menjadi bagian dari sejarah Indonesia yang perlu dipelihara dan dimanfaatkan.
Pengelolaan Warisan Dunia
Situs cagar budaya wilayah tambang batu bara Ombilin Sawahlunto terbagi menjadi tiga area yaitu, Kota Tambang Sawahlunto; fasilitas dan infrastruktur perkeretaapian; dan fasilitas penyimpanan batu bara di Emmahaven atau Pelabuhan Teluk Bayur. Ketiga area tersebut tersebar di tujuh kota/kabupaten di Sumatera Barat.
Sebagai dukungan untuk menjaga aset warisan dunia itu, Pemerintah Kota Sawahlunto membentuk citra sebagai kota cagar budaya berbasis heritage. Hal itu dirumuskan dalam Visi Kota Sawahlunto sebagai "Kota Sawahlunto Tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya" yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2001.
Dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam untuk sampai di Sawahlunto dari Bandara Internasional Minangkabau lewat jalur Jalan Raya Padang-Solok. Pemandangan hijau dengan kontur jalan berkelok jadi teman selama perjalanan menuju kota tambang tertua di Indonesia itu.
Lanskap hijau, teduh, dan berkelok masih akan ditemui sesampainya di Kota Sawahlunto. Maklum saja, nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “Sawah” yang menggambarkan hamparan sawah dan kata “Lunto” yang diambil dari nama Sungai Batang Lunto yang mengelilingi daerah itu.
Tidak hanya asri, deretan bangunan yang berdiri di Sawahlunto punya ciri khas yang berbeda dengan bangunan di daerah Sumatera Barat lainnya yang identik dengan atap runcing.
Bangunan-bangunan berarsitektur khas Belanda, di Sawahlunto, utamanya di pusat kota, masih berdiri kokoh dan megah. Beberapa di antaranya telah dialih fungsi menjadi gedung perkantoran, hotel, sekolah, hingga museum.
Selain instagrammable, bangunan tua di Sawahlunto memang tidak boleh sembarangan dipugar.
Sebagai penyandang titel Situs Warisan Dunia, ada panduan khusus yang telah ditetapkan UNESCO agar warisan dunia itu tidak rusak dan tetap terjaga keasliannya.
Panduan itu antara lain, memahami nilai universal luar biasa situs; menjaga kelestarian situs dan lingkungan; tidak mengubah bentuk dan tampak bangunan asli; tidak menambah luas dan ketinggian bangunan asli, serta tidak melakukan pembangunan baru; serta berkoordinasi dengan instansi terkait dalam penanganan bangunan dan lingkungan.