Anda sudah tahu Seto: deputi menteri koordinator Luhut Binsar Pandjaitan. Yang namanya top saat berpolemik dengan ekonom terkemuka yang juga seniornya di Universitas Indonesia: Dr Faisal Basri. Yakni soal nilai tambah hilirisasi nikel.
Pun meski di bulan puasa. Seto ke Shanghai, Ningbo, dan Shenzhen. "Ini baru kali pertama saya berpuasa di Tiongkok," katanya.
Menu buka puasanya apa?
"Serba seafood," jawabnya.
Saya maklum. Ningbo adalah kota pantai. Seto bertemu pengusaha "wait and see" di kota Ningbo: pertengahan antara Shanghai dan Wenzhou.
Shanghai tempat Seto mendarat. Lalu naik mobil ke Ningbo –lewat jembatan di atas laut sejauh 36 km.
Wenzhou adalah daerah asal pemilik perusahaan hilirisasi nikel di Morowali, Sulteng.
Di buka puasa itu Seto mendapat penjelasan bahwa semua menu yang disiapkan adalah makanan halal. Di antara yang buka bersama memang hanya Seto yang berpuasa.
"Untung di Tiongkok waktu buka dan sahurnya hampir sama dengan di Indonesia," ujar Seto.
Ke Shanghai kali ini Seto ikut penerbangan tengah malam dari Jakarta. Begitu terbang ia makan sahur. Pukul 06.00 sudah mendarat. Dua jam kemudian sudah rapat di Shanghai.
Yakni rapat dengan perusahaan kaca yang selama ini ''wait and see'' untuk berinvestasi di Indonesia.
"Rapat ini untuk finalisasi rencana itu," ujar Seto.
Salah satu produk pabrik kaca ini adalah photovoltaic glass. Yakni bahan untuk solar cell. Masih banyak macam lagi produk lain.
Investasi yang akan dilakukan sangat besar: antara USD 3,5 miliar-4 miliar. Sekitar Rp 75 triliun.
Hasil finalisasi itu: groundbreaking sudah bisa dilakukan Juni depan. Itu untuk fase pertama dari tiga fase –photovoltaic di fase terakhir. Tinggal pemerintah yang harus mempercepat perizinannya.
Lokasi proyek ini Anda sudah tahu: di kawasan industri terbaru di Kalimantan Utara. Milik Boy Thohir dan pengusaha lainnya itu.