Tahu Diri Lebih Penting Ketimbang Bela Diri

Kamis 04 Apr 2024 - 20:23 WIB
Editor : Jurnal

 “Katakanlah kalau saya terjerumus ke posisi saya saat ini, mungkin orang-orang bilang enak, ya. Ini bukanlah sebuah cita-cita. Apapun yang saya dapat saat ini adalah sebuah hasil dari proses perjalanan yang terakumulasi. Begitu ditarik ke Jakarta, ya sudah saya total jadi guru pencak silat dengan segala suka duka,” Yayan membeberkan.

Dia masih mengingat pada masa awal berkarier sebagai guru di PSTD Indonesia, terdapat hanya sekitar 10 orang pelatih profesional. Seiring waktu, jumlah tersebut semakin menyusut hingga hanya menyisakan 3 sampai 5 orang pelatih yang datang dan pergi.

Keyakinan Yayan untuk menekuni profesi sebagai seorang pelatih pencak silat tetap sekuat karang. Keteguhan itu membuahkan hasil manis ketika dia bertemu dengan seorang pembuat film asal Welsh bernama Gareth Evans tengah membuat sebuah film dokumenter mengenai pencak silat.

Kelak, dokumenter yang memotret eksistensi jenis silat yang mulai langka yaitu silek (silat) harimau dari Minangkabau itulah yang menjadi cikal bakal film “Merantau”. Menurut Yayan, Gareth secara sistematis dan jeli berhasil memperkenalkan budaya merantau Minangkabau dengan jenis pencak silat yang bisa dikatakan cukup langka.

 “Itulah film silat yang betul-betul ditata oleh para pesilat sendiri. Kalau saja ‘Merantau’ pelakunya bukan Iko Uwais atau siapa pun, maka film itu tidak akan dianggap berbeda karena jauh sebelum itu, banyak film yang dibungkus kata silat namun secara nyawa dan rasa mungkin tidak ada, karena pelakunya bukan seorang pesilat,” terang dia.

Awalnya, Yayan hanya terlibat sebagai tim koreografi fighting untuk “Merantau”. Gareth, kenang Yayan, kemudian meminta dirinya untuk mengikuti test camera yang juga melibatkan Iko Uwais dan beberapa orang lainnya.

Saat itu, sudah ada 6 orang untuk lawan main sang aktor, sementara Gareth masih berupaya mencari pemain ke-7 bernama Eric yang memiliki tubuh besar dengan kemampuan silat seimbang.

“Saat itu dari orang-orang yang direkrut belum cocok. Gareth minta spesifik sekali orang yang harus pintar akting, drama, dan jago berantem. Saya di-casting, esoknya dikasih tahu bahwa saya dapatkan karakter Eric. Saya bilang, ‘Nggak salah?’ Saya nggak punya dasar drama dan hanya kenal sedikit pencak silat,” kata Yayan mengenang masa lalu.

Semenjak mendapatkan kepercayaan itu, Yayan lalu mengambil sikap layaknya gelas kosong yang senantiasa bisa diisi dengan air ilmu pengetahuan baru. Perumpamaan lain, dirinya beranggapan bahwa dirinya adalah wayang yang harus bisa mendefinisikan keinginan sutradara sebagai pengatur lakon dengan baik.

“Saya selalu berusaha mendengarkan apa yang sutradara inginkan dari karakter saya. Meski saya bisa menjadi sangat sangar atau brutal ketika memerankan karakter tertentu, namun ada satu proses yang masih sangat sulit untuk saya lakukan sampai saat ini yaitu tersenyum. Wah, petaka sekali kalau sudah disuruh akting tersenyum karena kalau saya senyum, tetap saja sangar,” tawa Yayan membuncah. 

Film "Merantau" memiliki peran besar untuk mengangkat nama Yayan Ruhian sebagai salah satu aktor seni peran yang mampu memberikan perspektif tentang seni bela diri pencak silat. Menurut Yayan, film “Merantau” yang kemudian disusul “The Raid” dan “The Raid 2: Berandal”, hingga kini masih menjadi acuan bagi para pembuat film aksi laga yang mengedepankan olahraga seni bela diri, utamanya pencak silat sebagai benang merah.

Yayan berpendapat demikian, usai mencermati apa yang telah dia peroleh selama bergelut dengan beberapa sineas Hollywood. Ketika bermain di film “John Wick: Chapter 3 Parabellum” bersama Cecep Arif Rahman misalnya, Yayan amat senang ketika mereka mendapatkan kebebasan dari sutradara untuk mengeksplorasi ragam gerakan pencak silat yang disesuaikan dengan adegan film.

“Mereka yang membuat koreo fighting kan kan jago-jago silat juga. Dari beberapa teknik yang sudah ada, kami adjust dengan karakter yang lebih spesifik ke silat. Sebetulnya teknik kuncian bela diri A, B, atau silat, selama yang dikunci manusia, secara anatomis sama, hanya karakter dan proses yang beda,” tutur Yayan.

Di film “John Wick 3”, Yayan dan Cecep mengembangkan beberapa koreografi sehingga durasi perkelahian dengan aktor Keanu Reeves pun bertambah sekitar dua kali lipat. Yayan menjelaskan bahwa tim produksi membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk syuting adegan perkelahian berdurasi pendek dengan latar ruangan dipenuhi cermin.

Tak hanya membawa pencak silat, Yayan dan Cecep juga mengenalkan senjata khas Minangkabau yaitu kerambit di film “John Wick 3”. Rasa bangga Yayan semakin membuncah, ketika dia dan rekannya tetap menggunakan Bahasa Indonesia dalam dialog dengan Keanu Reeves di film tersebut.

Bahkan, pada akhir pertempuran yang dimenangkan oleh John Wick, Keanu sempat melontarkan kalimat “sampai jumpa” kepada Yayan dan Cecep yang tengah terkapar kalah.

Kategori :