“Asli bangga. Seharusnya pada adegan itu saya dan Kang Cecep mati, namun kami tetap disuruh bergerak yang artinya akan ada kelanjutan dari kisah John Wick. Karena kami tidak jadi mati, maka harus ada kata-kata yang diucapkan oleh John. Maka itu ada ‘sampai jumpa’ yang diucapkan oleh Keanu Reeves dan saya sangat bangga dengan hal itu,” kata Yayan menegaskan.
Meski telah menorehkan tinta emas namanya di jajaran aktor Hollywood, namun Yayan justru merasa semakin ‘kecil’ ketika bertemu dengan para guru besar dari olahraga seni bela diri lainnya.
“Semakin banyak orang mengenal saya, maka semakin banyak jenis bela diri yang saya tahu. Saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam bela diri. Di situ, saya merasa bahwa saya belum tahu apa-apa. Semakin saya ketemu dengan banyak master dari bela diri yang berbeda, saya merasa apa yang saya tahu dari bela diri? Apa yang saya bisa?” terang Yayan.
Berpedoman dari ragam pengalaman dan wawasan yang semakin berkembang itulah, Yayan berpendapat bahwa ada hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar mempelajari bela diri yaitu kemampuan untuk tahu diri. Dia merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap perguruan dan pencak silat karena keberadaan Yayan saat ini tidak terlepas dari pencak silat.
"Bela diri itu penting, namun jauh lebih penting tahu diri. Kalau hanya jago bela diri, acuannya ke perkelahian, menang, lantas menjadi jagoan. Tetapi kalau tahu diri, nggak usah bergaul di lingkungan orang baik, di lingkungan orang jahat pun bisa aman. Bisa berteman, nggak masalah,” ungkap dia.
Regenerasi
Rasa bangga Yayan dapat memboyong citra positif Indonesia ke mancanegara lewat pencak silat, juga telah memberikan pemahaman yang semakin utuh bagi dirinya, bahwa pada dasarnya olahraga seni bela diri tersebut mendapatkan tempat yang sangat istimewa di luar sana.
Yayan berkata, efek domino dari film “Merantau” telah membuka cakrawala semua kalangan mengenai seni bela diri secara umum dan pencak silat secara khusus. Banyak orang di luar negeri, kata Yayan, selalu membanggakan pencak silat hingga milidetik ini.
“Bahkan kawan-kawan yang sudah pernah dikirim ke luar negeri untuk menjadi pelatih, pasti akan merasakan bagaimana pencak silat sangat disukai. Hal ini juga menjadi tanggung jawab kami para pelatih pencak silat di perguruan masing-masing dan para pendekar pencak silat, untuk memperkenalkan, menjaga, dan melestarikan pencak silat sampai ke anak-anak muda,” terang dia.
Karena itu, Yayan berpendapat bahwa sah saja bila ada generasi muda yang ingin menapaki karier hingga ke Hollywood berbekal olahraga seni bela diri pencak silat sebagai kendaraan utama.
“Mungkin ada yang melihat silat bukan dari sisi budaya, namun semata-mata ingin bisa tampil di Hollywood. Sah saja, kenapa nggak? Mudah-mudahan dari situ nanti dia sungguh-sungguh mencintai pencak silat, tulus, belajar, dan akhirnya silat memberikan sesuatu,” terang dia.
Yayan berharap, dinamika pencak silat dalam industri hiburan film internasional saat ini dapat memberikan motivasi bagi generasi muda untuk tetap mempertahankan seni bela diri tersebut sebagai warisan milik Indonesia.
Menurut dia, saat ini bertaburan orang Eropa atau Amerika yang bisa melakukan gerakan silat dengan amat luwes, bahkan lebih hebat ketimbang orang Indonesia.
“Jangan sampai Hollywood hanya cari orang Asia dengan look Indonesia untuk film mereka. Hal ini jadi satu tantangan. Mudah-mudahan nanti pencak silat tetap akan menjadi acuan utama agar orang Indonesia asli bisa tampil,” kata Yayan yang hingga kini masih tercatat sebagai anggota pengurus pusat dan master di PSTD.
Yayan juga menguarkan harapan agar film aksi laga bisa menjadi bagian dari karya sineas Indonesia sehingga membuka kesempatan munculnya Iko Uwais generasi baru.
“Kita harus bangga dengan pencak silat. Ketika aikido punya Steven Seagal, Kungfu ada Jackie Chan, Donny Yen, atau Jet Li, sedangkan pencak silat Indonesia ada Iko Uwais,” tegas dia.