Merapat ke Kapatcol, Kampung Penjaga Berkah Alam di Raja Ampat
RUMAH-rumah warga di Kapatcol juga terbilang unik. Sebagian besar dapur warga berdiri dalam bentuk rumah panggung dan langsung menyatu dengan perairan Raja Ampat itu. Warga memercayai setiap orang yang melanggar aturan, seperti menangkap ikan pada saat 'sasi' ditutup, ia akan mendapatkan ganjaran buruk mulai dari kecelakaan hingga kematian.
Bergerak dari Pelabuhan Sorong dengan menggunakan kapal cepat, pengunjung membutuhkan waktu sekitar 5 jam untuk tiba di dermaga Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Setibanya di sana, pengunjung disambut dengan sebuah salib putih setinggi 6 meter. Salib raksasa itu merupakan tugu peringatan masuknya kepercayaan Injil di Kapatcol pada 23 Oktober 1985. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kampung Kapatcol, Luis Hay, kampung dengan total 47 kepala keluarga (KK) itu memang didominasi oleh penduduk Nasrani. Hanya ada dua keluarga yang Muslim. Total penduduk Kapatcol mencapai 412 orang dengan 236 orang di antaranya adalah perempuan. Mereka semua beretnis Matbat.
Dari tugu salib tersebut, pengunjung akan melintasi jalan setapak dan mulai melihat rumah-rumah warga yang asri dengan berbagai bunga dan tanaman yang menyejukkan pandangan. Di kampung itu, setiap pengunjung akan dengan mudah merasakan kehangatan dari warga yang menyambut mereka. Sapaan salam dari warga kepada pengunjung bertebaran di setiap sudut Kapatcol.
Dapur warga Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya yang langsung menyatu dengan perairan Raja Ampat, Selasa (26/3/2024). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Di Kapatcol, pembangkit listrik menggunakan tenaga surya sehingga durasi menyalanya masih terbatas, seperti hanya di kala Matahari tengah bersinar terang. Sementara pada malam hari, durasi nyala listrik berkisar di antara 5 hingga 6 jam. Walaupun begitu, warga yang telah terbiasa berbaur dengan alam Kapatcol tidak merasa terganggu oleh keterbatasan durasi nyala listrik tersebut.
Pengunjung juga tak akan menemukan deru kendaraan roda dua ataupun empat di Kapatcol. Warga hanya memiliki transportasi berupa perahu motor, yang sebagian besar digunakan untuk mencari ikan. Jalanan setapak justru diramaikan oleh anjing-anjing milik warga yang ramah pula kepada para pengunjung Kapatcol. Di sana, pengunjung tak perlu khawatir dikejar atau merasa terganggu dengan gonggongan anjing.
Berkenaan dengan sejarah, Luis Hay yang menjabat sebagai kepala kampung sejak tahun 2012 itu mengatakan Kapatcol sebenarnya telah ada sejak tahun 1984, namun baru memperoleh status sebagai desa atau kampung pada tahun 2000. Ia juga bercerita bahwa mata pencaharian warga Kapatcol didominasi sebagai petani dan nelayan.
Menjaga Tradisi Sasi Laut Pelindung Bahari
Membicarakan Kapatcol tak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai sasi laut. Ketika pada umumnya pengelolaan sasi laut dilakukan oleh kaum pria, di Kapatcol ada Kelompok Perempuan Waifuna yang mengambil peran itu. Hal tersebut menjadi salah satu keunikan pelaksanaan sasi laut di kampung tersebut.
Sasi merupakan praktik adat untuk mengelola sumber daya alam berkelanjutan, baik di darat maupun di laut. Sasi laut menggambarkan aturan spesifik dan tidak tertulis mengenai wilayah penangkapan, alat penangkapan, spesies target, waktu, dan lokasi penangkapan biota laut. Selama sasi laut berlaku, masyarakat dilarang mengambil sumber daya laut di wilayah sasi hingga waktu panen atau pembukaan sasi tiba.
Meskipun tak ada aturan tertulis, bahkan tak ada pula lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaannya, warga setempat memercayai bahwa setiap orang yang melanggar aturan, seperti menangkap ikan pada saat sasi ditutup, akan mendapatkan ganjaran buruk mulai dari kecelakaan hingga kematian.
Dalam pengelolaan sasi laut, Kelompok Waifuna didampingi langsung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer menyampaikan salah satu hasil dari pendampingan yang diberikan pihaknya itu adalah tumbuhnya kesadaran dalam diri para mama di Waifuna agar lebih selektif dalam mengambil hasil laut.