Hasil panen teripang saat pembukaan sasi oleh Kelompok Waifuna dari Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (25/3/2024). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Melalui bimbingan YKAN, Kelompok Waifuna berkomitmen mengembalikan hasil tangkapannya ke laut jika tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, seperti berkenaan dengan ukuran biota laut yang boleh dan tidak boleh diambil.
Dalam pandangan Ketua Kelompok Waifuna Almina Kacili, tradisi sasi harus dipertahankan karena memiliki manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Hasil penjualan penangkapan ikan di masa pembukaan sasi dapat digunakan untuk membantu warga yang sedang kesusahan, seperti terkena masalah kesehatan ataupun kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Hal senada juga disampaikan oleh Luis Hay. Menurut dia, keberadaan tradisi sasi harus dipertahankan agar generasi penerus di Kapatcol dapat melihat kemegahan sumber daya laut di perairan Raja Ampat itu, sebagaimana yang saat ini dilihat oleh warga Kapatcol.
Meskipun pengelolaan sasi oleh kelompok perempuan menjadi nilai uniknya, Kampung Kapatcol memiliki beragam sisi lain. Di antaranya di kampung itu, ketaatan terhadap ajaran agama mengakar kuat dalam diri setiap warganya. Jika berada di Kapatcol pada hari Minggu, pengunjung bisa menyaksikan Minggu menjadi hari yang pergerakannya dipenuhi dengan ibadah warga kampung.
Pada pagi hari, umat Nasrani Kapatcol beribadah di gereja. Ibadah itu lalu dilanjutkan dengan mendengar khotbah di rumah warga yang telah ditentukan. Dalam sesi mendengar khotbah tersebut, laki-laki dan perempuan melakukannya secara terpisah. Tak henti di sana, warga akan kembali beribadah pada malam hari di rumah mereka masing-masing.
Tradisi unik lainnya di Kapatcol adalah penyelenggaraan bazar makanan dengan hasil penjualan dialokasikan untuk kebutuhan gereja. Tokoh agama di Kampung Kapatcol Yesaya Kacili menyampaikan bahwa tidak ada waktu khusus bagi warga dalam menyelenggarakan bazar makanan itu. Pendeta Yesaya mengatakan bazar akan selalu diselenggarakan jika gereja membutuhkan dana tertentu.
Warga berdoa bersama sebelum menggelar bazaar makanan di Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Minggu (24/3/2024). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Akses Pendidikan yang Terbatas
Jika masih ada satu hal yang masih harus diperjuangkan di Kapatcol, itu adalah akses pendidikan karena memang masih terbatas. Kapatcol hanya memiliki satu sekolah dasar. Jika ingin melanjutkan pendidikan menengah pertama dan menengah atas ataupun pendidikan sarjana, anak-anak di Kapatcol harus merantau.
Sekolah menengah pertama terdekat dari Kapatcol ada di Kampung Maygey. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di sana sehingga mau tidak mau, anak-anak Kapatcol harus menumpang hidup di rumah keluarganya di sana ataupun rumah warga yang bersedia menerima mereka.
Sementara untuk sekolah menengah atas terdekat dari Kapatcol, ada di Kampung Lilinta dengan waktu tempuh sekitar 30 menit menggunakan kapal motor. Jika warga bersedia melepas anaknya merantau, biaya makan, hidup, dan transportasi bagi anak-anak mereka di tanah rantau menjadi masalah yang harus diatasi orang tua.
Dengan mata berkaca-kaca, Luis menyampaikan asa kepada Pemerintah agar dapat segera mengambil langkah mengatasi persoalan keterbatasan pendidikan di Kapatcol itu.
“Kalau harapan kami ke depan, mudah-mudahan ada berkat dan Pemerintah bisa membuka salah satu SMP di kampung kami,” kata dia.
Luis mengatakan pula jumlah anak di Kapatcol yang makin hari kian sedikit membuat warga kampung merasa cukup berat untuk melepas anak mereka merantau di usia belia demi mengenyam pendidikan menengah pertama.
“Ada siswa lulus SD, tapi tidak lanjut SMP. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan akses. Tinggal dengan orang lain itu berbeda dengan tinggal dengan orang tua. Makan-minum saja menjadi persoalan. Kalau lapar, mereka harus pulang,” ucap Luis.