Kemudian, tersembunyi di sebuah ruangan kecil, pengunjung akan menemukan koleksi keramik tua peninggalan Belanda yang disusun rapi di dalam lemari.
Sebelum seperti sekarang, Gedung Linggarjati pada mulanya hanya merupakan gubuk sederhana yang didiami oleh seorang perempuan bernama Jasitem.
Pada dekade 1910-an, perempuan itu datang ke Kuningan untuk menetap di gubuk tersebut. Selama bertahun-tahun Jasitem menjalani kehidupan seperti kebanyakan penduduk pribumi lainnya. Dia tinggal sendirian karena tidak memiliki keturunan.
Nasib Jasitem berubah ketika seorang Belanda bernama Tersana datang menemuinya pada 1918. Peristiwa ini menjadi awal dari pembangunan Gedung Linggarjati yang sangat bersejarah itu.
Staf juru pelihara Gedung Linggarjati Toto Rudianto kepada ANTARA bercerita, Tersana diketahui merupakan pejabat berpengaruh di Pabrik Gula Tersana yang ada di Cirebon timur. Ada juga yang menyebutnya sebagai tuan Marghen atau Margen. Tokoh ini kemudian meminang Jasitem.
Setelah pertemuan itu, tepatnya pada 1921, Tersana mengubah gubuk sederhana milik Jasitem menjadi hunian semi permanen dengan menambahkan beberapa tembok di bagian fasadnya.
Banguan tersebut dijadikan sebagai tempat peristirahatan pasangan itu. Kemudian sekitar 1930-an, bekas gubuk ini dijual kepada pengusaha bernama JJ van Os, sedangkan Jasitem ikut bersama Tersana pindah ke Belanda.
Properti di kaki Gunung Ciremai tersebut, kemudian direnovasi oleh pengusaha itu menjadi lebih megah dengan luas mencapai 1.052 meter persegi dan memiliki delapan kamar tidur.
Pada 1935, gedung tersebut dikontrak oleh rekan JJ van Os, yakni Heiker untuk dijadikan wisma yang bernama Hotel Restroond. Tujuh tahun berselang, bangunan itu kemudian diambil alih Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokai Ryokai.
Pejuang Indonesia akhirnya dapat merebut gedung ini pada 1943, yang selanjutnya difungsikan sebagai markas, sekaligus menjadi dapur umum.
Setelah tahun 1945, nama Gedung Linggarjati berubah lagi menjadi Hotel Merdeka karena berganti kepemilikan, dan bertahan terus sampai tahun 1946.
Perjanjian Linggarjati
Di sepanjang lorong yang menghubungkan berbagai ruangan di Gedung Linggarjati, pengunjung dapat merefleksikan perjuangan dari mendiang Sutan Syahrir dan rekan-rekannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di hadapan perwakilan Belanda.
Selain itu di bagian barat gedung, pengunjung pun bisa menemukan ruangan yang pernah dipakai oleh Presiden Soekarno untuk bertemu dengan Lord Killearn, seorang utusan asal Inggris, sebelum berlangsungnya Perundingan Linggarjati pada 10-13 November 1946.
Dosen Jurusan ilmu Sejarah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Tendi menjelaskan Perundingan Linggarjati menjadi tonggak awal dalam pengakuan kedaulatan Indonesia secara internasional, meskipun hasilnya, kala itu tidak sepenuhnya memuaskan.
Sebelumnya, Indonesia dan Belanda telah berkali-kali menjalin negosiasi, tetapi tidak pernah menghasilkan kesepakatan.