Menurut Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jawa Barat, program ini bertujuan untuk kegiatan konservasi dan bagian dari mitigasi dengan mereduksi debit run-off air permukaan untuk penanganan banjir di Jawa Barat.
Hansip Cai dari Pemprov Jabar ini adalah pembangunan sumur resapan yang sampai 2024 ini telah terbangun 1.000 unit, di titik-titik aliran air yang bisa menggenangi beberapa kawasan seperti di Terowongan Cibaduyut, dan sekitar Cikadut, yang diharapkan juga dijalankan oleh semua pemangku kepentingan.
Pasalnya, disadari juga oleh Pemprov Jabar bahwa saat ini, perbandingan resapan air dan limpasan air di sebagian besar Jabar terutama perkotaan adalah 20 persen-30 persen berbanding 70 persen.
"Itu pun kalau ada tamannya. Jadi, intinya tujuannya adalah mengembalikan ke fungsi tata guna lahan sebelumnya sebelum ada pembangunan," ucap Kepala Dinas SDA Jabar, Dikky Achmad Sidik.
Sumur resapan sendiri telah dimasukan regulasi, di mana setiap Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diterbitkan, mencantumkan adanya keharusan untuk membuat sumur resapan dengan hitungan untuk tiap 100 meter terbangun, butuh sumur resapan yang bisa menampung sembilan kubik air.
Namun diakui oleh Dinas SDA, belum semua taat dalam menjalankan regulasi tersebut, sehingga butuh keterlibatan pemerintah tingkat kota/kabupaten untuk mengawasi ketentuan itu, mengingat izin tersebut kini ada di kota/kabupaten.
Di sisi lain, pemerintah bisa mulai memikirkan dan mewajibkan konsep zero run-off atau bahkan rain water harvest seperti di rumah Hadi, untuk diterapkan pada perumahan, sekolah, gedung pemerintahan, sampai pemukiman padat dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Langkah awalnya, pemerintah bisa membuat regulasi yang meminta pengembang kawasan perumahan, untuk membuat rancangan hunian yang tidak menimbulkan limpasan air hujan ke luar unit rumahnya, dan kawasan proyeknya.
Kemudian, bisa dilanjutkan dengan kewajiban serupa pada kawasan perumahan, industri, pemerintahan. Serta pada kawasan padat penduduk bisa dilakukan dengan sistem komunal.
Tujuannya, tentu mengurangi limpasan air dari bangunan-bangunan yang menutup tanah, semisal di Bandung ada 60 persen lahan yang terbangun, artinya kalau sistem tersebut bisa diterapkan dengan baik, limpasan akan berkurang seluas yang terbangun itu sendiri.
"Sebagai pemikat, pemerintah bisa memberikan insentif seperti pengurangan PBB. Dan jika sistem ini terbangun, dan seluruh rumah dan bangunan bisa zero run-off, akan selesai dan bisa tidak banjir. Tapi ini tidak bisa cepat, sedikitnya 50 persen melaksanakan baru terasa perbedaannya," ucap Hadi yang juga merupakan pakar dalam bidang perencanaan wilayah dan perdesaan ITB ini.
Penanganan banjir, konservasi air hujan untuk mengatasi penurunan muka air tanah di kota-kota besar, termasuk Bandung, perlu ada inovasi yang sangat efektif.
Tapi, hal ini juga perlu ada kerja bersama antar semua pihak secara pentahelix, agar bisa terlaksana dengan baik dan terasa efeknya bagi masyarakat.
Seperti kata Doel Sumbang dalam lagu Bandung Kusta seperti di awal: "Walikota jeung warga kota, Niatna kudu sarua. Gawe rampak babarengan, Hayang bebenah ngomean".
Artinya, pemerintah dan warganya harus memiliki niat sama, bekerja bersama-sama, ingin memperbaiki keadaan. Karena, apapun tidak akan ada hasilnya jika berjalan sendiri-sendiri. (ant)