Lia sering mengekspresikan keinginannyi untuk bisa pulang ke Indonesia. Agar bisa menyumbangkan tenaganyi untuk masyarakat dan negara.
Ketika menjadi ketua tim pemenangan Ganjar di Amerika pun tujuan Lia untuk Indonesia yang lebih baik.
Saya tidak setuju itu. Saya justru menyarankan Lia untuk tetap di Amerika. Di Indonesia sudah terlalu banyak politisi. Jangan risi dengan anggapan berkarier di luar negeri itu kurang nasionalistik.
"Itu pikiran lama dari orang yang pandangan nasionalismenya sempit. Jangan ikut nasionalisme sempit. Harus berubah ke nasionalisme modern". Itu Anda sudah tahu: kata-kata yang sering diucapkan anaknya Pak Iskan.
Indonesia sulit maju karena dua pandangan yang bertabrakan. Keagamaan yang sempit dan nasionalisme yang sempit. Pak Iskan mungkin marah mendengar pendapat anaknya seperti itu. Tapi zaman sudah berubah.
Nasionalisme sempit juga masih mengagungkan doktrin berdikari. Termasuk memuja swadesinya India. Padahal India sendiri sudah lama meninggalkan swadesi --karena swadesi nyaris membuat India bangkrut.
Setelah mendengar 'seminar' saya itu Lia bisa punya dua pilihan: mengembangkan kantor hukumnya di New York atau menjadi hakim. Lia punya peluang jadi hakim di sana. Tapi harus menjadi warga negara Amerika.
Saya pilih yang pertama. Entah Lia. Saya lihat Lia punya energi berlebih. Sayang kalau orang seperti Lia frustrasi oleh kejadian-kejadian politik di dalam negeri.
Menjadi caleg di zaman SBY, dan menjadi tim sukses di zaman Ganjar, apa yang dihasilkannyi: Camino!
Baik juga Camino: Lia jadi berpikir harus menentukan masa depan. Terutama ketika anak tunggalnyi, Erick, akan pergi jauh ke Austin, Texas, minggu depan.
Erick akan buka usaha properti di sana. Betapa sedihnya seorang ibu. Selama 26 tahun Lia hampir tidak pernah berpisah dengan anaknyi. Seminggu lagi harus berjauhan.
Saya lihat Lia mengusap mata. James diam di meja makan.
"Lia, Anda harus bahagia punya anak seperti Erick. Banyak orang tua yang susah karena kelakuan anak mereka. Erick begitu baik. Relakan ia pergi." Toh suatu saat ia juga harus menikah.
Saya tahu karakter Erick. Anak baik. Tiga hari ia menemani saya di New York. Termasuk dua hari ke pengadilan Manhattan tempat Donald Trump disidangkan perkara uang tutup mulut.
Ketika Erick mengemudikan mobil Lia begitu sering minta Erick harus belok di mana. Erick pun menurut. Padahal, setelah belok, Erick mengatakan 'lewat yang sana lebih cepat Ma'.
Hubungan Lia dan anaknyi mirip dengan hubungan Lia dengan bapaknyi. Hari itu saja Lia video call dengan bapaknyi di Jakarta dua kali. Sejak pagi, kalau bicara pun, Lia sering menyebut nama bapaknyi. "Toh Anda bisa tetap dekat dengan papa Anda".