"Kenapa kelihatan sedih?"
"Saya tidak bisa menemani Anda. Tiap hari saya harus ke pengadilan. Biasanya sepanjang hari."
"Seandainya saya tidak di sini apakah ditunjuk jadi juri itu senang?"
"Biasa saja. Tidak senang tidak juga sedih. Saya kan sudah tidak bekerja lagi."
"Saya ikut. Ingin tahu."
"Mungkin tidak boleh ikut masuk."
"Gak apa-apa. Di luar saja juga gak masalah".
Saya pun bergegas bikin oatmeal. Yang quick cook. Bukan yang instan. Tiga sendok. Pakai tepak tanpa tutup. Saya tuangi susu yang cukup. Tidak pakai tambahan air. Hanya itu.
Tepak saya masukkan microwave. Pertama 30 detik. Lalu 30 detik lagi. Tidak langsung satu menit agar didihnya tidak sampai tumpah.
Saya ambil juga tomat. Tiga buah. Saya masukkan tepak bertutup. Dimasukkan microwave satu menit. Kalau tepak tidak ditutup ledakan tomatnya bikin microwave kotor. Itulah yang terjadi di hari pertama. Letusan tomat ke mana-mana.
Di Surabaya tomat itu dikukus oleh istri. Di Lawrence harus masak sendiri.
Saya sudah akrab dengan sistem dapur Amerika. Pun di mana saja alat-alat dapurnya diletakkan: piring, sendok, wajan tevlon, sotil, entong. Susunannya rapi. Tetap di situ. Sejak di rumah John yang di Evanville, Indiana, di rumah Hays maupun di Lawrence ini.
Cara bagaimana menghidupkan kompor listrik juga bisa. Kompor itu besar. Tombolnya banyak. Sekaligus ada digital air fryer-nya. Juga sekaligus sebagai oven besar. John selalu bikin roti di oven besar itu. Pakai 'wajan' tebal, wajan warisan yang sudah berumur 150 tahun.
Hanya tomat tiga biji dan oatmeal itulah sarapan saya. Setiap hari.
"Tidak bosan?" tanya perusuh imajiner. Saya membayangkan itu Nimas.
"Justru ngangeni," jawab saya dalam hati.