SYL adalah tokoh besar di Sulawesi Selatan. Merangkaknya dari bawah: kepala desa. Lalu jadi camat. Naik ke bupati. Di Gowa. Dua periode. Naik lagi jadi wakil gubernur Sulsel. Lalu gubernur dua periode.
Jabatannya naik terus. Menanjak. Lancar. Sampai pun akhirnya menjadi menteri. Ia selalu sangat berkuasa. Apalagi didukung partai yang juga sangat berkuasa.
Saya pernah mengundang SYL ke Jawa Pos, Surabaya. Yakni saat beliau ingin bertarung memperebutkan jabatan ketua umum Partai Golkar. Ketika akhirnya pindah ke Nasdem jabatannya pun tinggi; salah satu ketua di pusat.
SYL selalu menonjolkan prestasi di berbagai bidang. Setidaknya tiga hal ini akan selalu dikenang oleh orang Sulsel sebagai karya monumentalnya sebagai gubernur.
Yakni proyek CPI yang fenomenal di Pantai Losari. Center Point of Indonesia. Lalu proyek kereta api yang menghubungkan Makassar - Parepare. Saat ini baru terealisasi sampai Maros-Pangkep. Juga proyek jalan layang di dekat perbatasan Maros-Bone yang berhasil memangkas jarak di daerah yang terkenal dengan tikungan mautnya.
Masih ada prestasi lain: Sulsel selalu surplus beras. Prestasi inilah yang membuatnya menjadi menteri pertanian.
Latar belakangnya yang hampir selalu menjadi orang nomor satu itulah yang membuat tuntutan hukum sekarang ini ibarat empasan ke jurang. Maka akan menarik mengikuti pembacaan pledoi SYL kelak. Apalagi kalau ia jadi bongkar-bongkar aliran dana itu.
Begitu panjang perjalanan prestasi SYL. Di ujung hidupnya seperti ini. Uslimin, mantan pemred Harian Fajar, Makassar, menggambarkannya dengan istilah pendek yang sejak lama terkenal di Makassar: Kalau ini ada istilah yang terkenal di Sulsel: Sallo mako jago. Anda sudah tahu artinya.(Dahlan Iskan)