Perayaan Tradisional yang Kaya Nilai Sejarah dan Budaya

Kamis 04 Jul 2024 - 21:43 WIB
Editor : Adriansyah

 Iqbal, seorang pedagang dari Cimahi, mengaku rela datang lebih awal demi mendapatkan tempat strategis, mengingat banyak pula warga setempat yang memanfaatkan momentum ini untuk berdagang dengan menjajakan barang-barang khas Sunda. "Tahun lalu juga sudah ikut jualan di sini, lumayan, momen yang  sangat dinanti," katanya.   

Sejak sepekan lalu, berbagai pertunjukan seni pun telah digelar untuk menandai awal upacara. Semua pementasan tersebut menggambarkan perwujudan rasa syukur atas berkah dan karunia Tuhan, terutama di bidang pertanian. 

Puncak acara dimulai dengan tarian Jamparing Apsari yang menyedot perhatian para pengunjung. Tarian ini melambangkan panah cinta kasih yang mengarah ke jantung hati.

Jamparing berarti busur, dan anak panahnya memiliki dua sisi sebagai senjata berburu dan "panah asmara". Tarian ini mengajak manusia untuk menyingkirkan kesombongan serta amarah, menggantikannya dengan welas asih kepada sesama maupun alam sekitar.

Selanjutnya, ada tarian Puragabaya Gebang mengingatkan akan kodrat manusia. Tarian ini diikuti oleh tari Maung Lugay yang mengajarkan kelincahan dan keperkasaan harimau dalam menjaga lingkungan.

Maung Lugay memiliki makna bahwa masyarakat Sunda harus menjadi manusia unggul di berbagai bidang. Tarian ini juga menggambarkan pentingnya melindungi lingkungan dengan penuh ketangkasan.

Pertunjukan Angklung Kanekes dari masyarakat Baduy juga memeriahkan acara tersebut. Alat musik ini umumnya dimainkan dalam ritual saat bercocok tanam padi.

Kemudian, Angklung Buncis, kreasi sesepuh dari adat setempat yakni Pangeran Djatikusumah pada tahun 1969, yang ditampilkan guna menunjukkan kehidupan dan keseharian masyarakat Cigugur.

Tak berselang lama, pementasan dilanjutkan dengan penampilan Tari Buyung, yang memperlihatkan simbolisme menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala.

Setiap gerakannya menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Tarian ini menambah kekayaan makna dalam upacara Seren Taun.

Acara dilanjutkan dengan Helaran Memeron, sebuah pagelaran patung simbolik yang diarak bersama binatang seperti burung garuda, harimau, naga, kuda, dan ikan dewa. Setiap binatang memiliki makna tersendiri yang telah dipercaya turun-temurun.

 Prosesi ditutup dengan Ngajayak, di mana masyarakat melakukan arak-arakan menuju Gedung Paseban. Mereka membawa hasil panen seperti padi, biji-bijian, buah-buahan, dan hasil pertanian lainnya.

Suara dentuman lesung menggema di ruangan tersebut, mengiringi langkah-langkah warga yang antusias untuk melakukan Nutug Pare atau menumbuk padi. Kegiatan ini menjadi puncak dari rangkaian acara ini, sebuah simbol syukur atas hasil bumi yang melimpah.

Padi yang dikumpulkan dari petani setempat, disusun rapi di gazebo, menunggu untuk ditumbuk bersama oleh tangan-tangan yang penuh semangat. 

Di tengah keramaian, terlihat wajah-wajah bersemangat dari masyarakat hingga tamu undangan. Mereka bergantian menumbuk padi dengan irama yang seolah bercerita tentang kebersamaan dan kekuatan komunitas. 

Para penumbuk tidak hanya berdiam di satu tempat. Mereka bergerak mengelilingi area sesuai rute yang diatur panitia, menciptakan pemandangan yang dinamis dan hidup.

Kategori :