JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO-Pertukaran gagasan antara seniman dan maestro Senandung Jolo melahirkan karya bertajuk Bejolo di Ujung Tanjung.
Pergelaran seni yang melibatkan ratusan anak-anak ini bertujuan untuk mewariskan tradisi dan merawat ekosistem budaya.
Senandung Jolo adalah tradisi lisan masyarakat Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi.
Tradisi ini berkembang karena masyarakat piawai mengolah pantun menjadi nyanyian untuk merespons lingkungan.
Namun, terbatasnya jumlah penutur membuat tradisi ini terancam punah.
BACA JUGA:Senandung Jolo Muaro Jambi Raih Rekor MURI
BACA JUGA:Hardiknas, Muaro Jambi Catat Rekor MURI dengan Pagelaran Senandung Jolo oleh Ribuan Siswa
Sanggar Seni Mengorak Silo, rumah Senandung Jolo, kini hanya memiliki tiga penutur: Wak Degum, Wak Zuhdi, dan Wak Mariam.
Mereka menerima hibah Dana Indonesiana dari Kemdikbudristek tahun ini.
Untuk mewujudkan merdeka belajar dan merdeka berbudaya, mereka berkolaborasi dengan seniman musik Muhammad Taufiq Hidayat, Fino Andreka, Dwi Putra Yan Ramadona, dan Anggi Okfrida; seniman tari Ajeng Briliant; serta seniman teater Suwandi Wendy.
Kolaborasi ini menghasilkan karya Bejolo di Ujung Tanjung yang menawarkan pengalaman impresif dan imersif.
Pertunjukan ini menggabungkan elemen seni dan teknologi dengan pendekatan interaktif dan multisensorial, merayakan kekayaan kesenian Senandung Jolo serta menjembatani tradisi dan inovasi kontemporer.
Muhammad Taufiq Hidayat menyatakan bahwa kombinasi musik, tari, teater, dan sastra dalam Bejolo di Ujung Tanjung menciptakan narasi yang mengajak penonton menjelajahi berbagai aspek kreativitas, perjalanan emosional, dan kultural dalam menafsirkan harmoni antara tradisi dan modernitas.
Setiap elemen seni diintegrasikan secara harmonis untuk menghasilkan pengalaman yang diharapkan dapat memperkaya pemahaman audiens tentang Senandung Jolo.
Pewarisan Tanpa Batas
Senandung Jolo berkembang di Desa Tanjung, tetapi pewarisan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Mengajarkan Senandung Jolo kepada ratusan anak di Kecamatan Kumpeh adalah bagian dari proses pewarisan. Anak-anak diharapkan merasa memiliki karya budaya yang telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
Zuhdi, sang maestro, menekankan pentingnya kolaborasi dengan seniman lain dan berbagai pihak untuk memperkuat dan mendalamkan proses pewarisan tradisi.
Ketua Sanggar Seni Mengorak Silo merasa terharu melihat anak-anak dengan percaya diri menampilkan Senandung Jolo, merayakan tradisi dengan gemilang sesuai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Meskipun pewarisan berjalan baik, Zuhdi khawatir ekosistem budaya Senandung Jolo terganggu oleh budaya asing yang berpotensi meruntuhkan kebanggaan generasi muda terhadap budaya lokal.
Dia berharap Senandung Jolo dapat diajarkan secara rutin di sekolah.
Isu Perempuan dan Lingkungan
Ajeng Briliant, seniman tari perempuan, menilai bahwa tradisi Senandung Jolo erat kaitannya dengan aktivitas perempuan, terutama dalam kegiatan pertanian seperti menugal dan panen.
Namun, aktivitas ini menurun seiring pergeseran mata pencaharian dari sawah ke perkebunan sawit.
Suwandi Wendy, seniman teater, mengkritik menurunnya kualitas lingkungan yang mempengaruhi Senandung Jolo.
Bahan baku alat musik gambang, yaitu kayu mahang, sulit ditemukan akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit.