Tahija Wolbachia
Oleh : Dahlan Iskan--
KALAU bisa disebut ‘’harta karun’’, demam berdarah termasuk kategori ‘’harta tak bertuan’’.
Dunia Barat tidak tertarik memberantasnya. Riset tentang DB pun tidak diutamakan. Apalagi sampai menyediakan dana khusus.
Itu kesimpulan Trihadi Saptoadi, Executive Board Yayasan Tahija. Yayasan Tahija didirikan putra Julius Tahija: dr Sjakon G Tahija (lihat Disway kemarin).
‘’Di WHO bisa dilihat daftar penyakit yang masuk kategori seperti DB itu,’’ ujar Trihadi kemarin.
Memang begitulah nasib penyakit khas negara tropis yang miskin. Beda dengan, misalnya, penyakit AIDS. Atau jantung. Kanker.
Sampai pada suatu ketika dr Sjakon terkena demam berdarah. Sangat berbahaya. Mematikan. Bikin trauma.
Orang kaya meninggal karena demam berdarah sangatlah ironi. Itu yang dialami salah satu orang kaya Indonesia, Dharmawan Ruslim. Mantan direktur utama Astra pula. Ia sampai dibawa ke Singapura –yang minim pengalaman dalam mengatasi demam berdarah. Ia meninggal di sana.
Dokter Sjakon tidak sampai meninggal. Beruntung sekali. Ia pun tergerak untuk tahu lebih banyak penyakit demam berdarah. Terutama mengenai penyebabnya. Lalu bertekad terjun mengatasinya.
Sebagai dokter mata ahli bedah retina, tidak sulit bagi Sjakon memahami dunia kesehatan masyarakat.
Sebagai pewaris salah satu konglomerat terbesar Indonesia di masa lalu tidak sulit mencari dana.
Yang sulit adalah dari mana memulainya. Tidak banyak hasil penelitian tentang DB yang bisa dijadikan acuan.
Tapi harus dimulai. Ia pun memilih fokus pada pemusnahan jentik nyamuk pembawa virus demam berdarah: aedes aegypti. Pakai teknologi control of targeted sources.
Gagal.
Lima tahun Yayasan Tahija berjuang melawan jentik aedes aegypti. Tidak membuahkan hasil. ‘’Sudah habis Rp 50 miliar,’’ ujar Trihadi yang saat itu belum bergabung ke Yayasan Tahija (baca: Tahiya).