Tahija Wolbachia
Oleh : Dahlan Iskan--
Trihadi orang Kediri. Setelah lulus SMAN 2 Kediri ia masuk ITB. Teknik Industri. Angkatan tahun 1980. Setelah dua tahun bekerja di Elnusa, Trihadi terjun ke lembaga not for profit, NGO. Ia bergabung ke World Vision International.
Selama 30 tahun di WVI Trihadi pindah-pindah: Hong Kong, RRT, Singapura, Belanda, dan terakhir di London.
Kegagalan memberantas jentik aedes aegypti itu dibawa Sjakon ke seminar internasional di Amerika Serikat. Yakni di seminar American Society of Tropical Medicine and Society.
Di situlah Sjakon diberi tahu: ada peneliti nyamuk yang serius di Monash University Australia. Namanya: Prof Scott O’Neill.
Prof O’Neill sudah pula melakukan penelitian terapan di kota kecil di Australia utara. Dekat wilayah tropis. Berhasil.
Prof O’Neill memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam telur nyamuk. Itu membuat nyamuk tidak bisa menularkan bakteri ke nyamuk lain maupun ke manusia.
Bakteri Wolbachia itu ditemukan di tahun 1924. Wolbachia ditemukan di banyak serangga, tapi tidak ditemukan di nyamuk.
Ketika O’Neill memasukkannya ke telur nyamuk maka nyamuk baru tersebut tidak lagi bisa menularkan DB ke manusia.
Pulang dari seminar di Amerika, Sjakon melakukan kontak dengan Prof O’Neill. Lalu di tahun 2011 Sjakon ingin menggunakan temuan itu di Indonesia.
Tidak mudah.
Yayasan Tahija menghadapi rintangan berat. Mirip dengan yang dialami mobil listrik dulu. Usaha itu pun gagal.
Beda dengan mobil listrik, Yayasan Tahija lebih pintar. Juga lebih gigih. Ia segera mencari tokoh daerah yang hebat yang bisa menjadi pendukung program pemberantasan DB yang ia inginkan.
Sjakon menemukannya: Sri Sultan Hamengkubuwono X dari Yogyakarta.
Sjakon menjelaskan bahwa Yogyakarta adalah salah satu daerah dengan korban DB terbanyak. Sri Sultan pun memberikan dukungannya. Bahkan Sultan mengatakan ‘’jangankan korban begitu besar, satu orang Yogyakarta meninggal pun sudah terlalu banyak’’.
Kalimat Sultan itu seperti mantra. Diingat terus oleh Yayasan Tahija. Dikutip lagi oleh Trihadi untuk saya.