Gamelan Punya Kedekatan Budaya Dengan China

DOSEN: Risnandar, dosen kelas gamelan di Central Conservatory of Music (CCOM) Beijing. --

Risnandar mengaku ia tidak akan dapat mengajarkan gamelan dengan baik di CCOM, tanpa bantuan Bijin Zhan, asistennya yang juga belajar gamelan dan tari tradisional Indonesia.

Bijin, perempuan yang memperoleh gelar sarjana dan master bidang etnomusikologi dari China Conservatory of Music, Beijing, itu mengaku pertama kali mengenal gamelan pada 2015 saat berkunjung ke ISI Surakarta.

Saat itu, Bijin dibawa Risnandar ke pesta pernikahan orang Jawa dan ada gamelan. Bijin melihat, saat itu, pemain gamelannya tampak sangat santai, bisa sambil merokok, lalu ada yang makan pepaya, kemudian ada juga yang makan nasi dulu, lalu balik main lagi. Mereka bermain musik dan penuh santai. Kok bisa begitu ya? Demikian yang muncul dalam pikiran Bijin, kala itu.

Bijin yang lama bermain alat musik Barat, seperti piano, mengaku tidak pernah melihat hal itu sebelumnya. Meski menyukai piano, namun saat bermain ia mengaku merasa grogi dan "deg-degan".

Selain itu Bijin mengaku kagum karena gamelan sebagai musik tradisonal masih banyak dimainkan dan digunakan dalam keseharian masyarakat, khususnya di Jawa. Musik gamelan itu pun tumbuh karena inisiatif masyarakat, bukan karena perintah dari pemerintah.

Sehingga saat ia kembali ke Beijing, Bijin ingin mengenalkan gamelan ke masyarakat China lainnya.

"Saya orang China, tapi kenapa mau membagikan soal gamelan? Karena saya ingin agar orang lain tahu ada musik yang bisa dimainkan dengan santai, dinikmati, membangun hubungan dengan musik, lepas dari ketukan, notasi, tempo yang ketat dan tepat, seperti permainan alat musik yang selama ini diketahui orang China," kata Bijin.

Bijin kemudian mendalami hal mengenai lintas budaya, khususnya di bidang musik, sehingga ia dapat melihat gamelan sebagai seni tradisional Indonesia dan bagaimana juga perkembangan musik tradisional China dan didukung dengan latar belakangnya yang belajar musik Barat.

Kesimpulannya adalah semua musik berharga, dan musik dapat membuka pikiran kita karena lewat musik, kita, bahkan dapat berkomunikasi dengan orang yang tidak paham bahasa kita.

Saat CCOM membuka kelas "cross culture", termasuk kelas gamelan dan tari tradisional Indonesia, Bijin melihat hal itu menjadi jalan yang tepat bagaimana mempelajari budaya berbagai negara lewat musik karena ada juga kelas tabla dari India, musik tradisional Korea Selatan, Irak, dan negara-negara lainnya.

Setelah mengenal dan belajar gamelan sejak 2015, Bijin juga merasakan perbedaannya. Awalnya, Bijin merasa gamelan sangat rumit dengan ritme, notasi, istilah yang sama sekali berbeda dari alat musik yang ia pelajari.

Kemudian setelah makin mempelajari gamelan, ia malah merasa teknik dan aturan bermain gamelan tidak sulit, dan bahkan lebih longgar dibanding musik Barat.

Saat Bijin sudah "terikat" dengan gamelan, ia pun merasa bahwa gamelan itu punya nilai-nilai yang dalam, bahkan saat mengambil sikap bersila untuk bermain gamelan, sikap itu pun punya nilai sendiri.

Jadi, saat ini, setiap bermain gamelan, dia merasa ada hal baru yang dipelajari. Dia berpikir dalam 10, 20, 30 tahun bermain gamelan akan tetap ada hal baru yang dipelajari, seperti rasa rileks, menikmati, dan hal lainnya. Itulah kedalaman yang diperoleh Bijin dalam gamelan.

Bijin sendiri sedang mempersiapkan disertasinya yang ingin membedah struktur bangunan musikal gamelan untuk menjelaskan mengapa gamelan dipelajari banyak orang di dunia, meski teknik permainannya tidak sulit.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan