Gamelan Punya Kedekatan Budaya Dengan China
DOSEN: Risnandar, dosen kelas gamelan di Central Conservatory of Music (CCOM) Beijing. --
Dalam pembuatan silabus tersebut harus memadukan sudut pandang orang Indonesia dan China. Apalagi Risnandar dan Bijin ingin membuat program pembelajaran yang menunjukkan gamelan bukan hanya bagaimana bermain gamelan, melainkan juga nilai musik gamelan itu sendiri, kenapa harus mempelajari gamelan, bagaimana gamelan memberikan rasa rileks, prinsip komunikasi, hingga kebijaksanaan.
Kelas gamelan di CCOM sendiri digabungkan dengan kelas tari Indonesia yang pengajarnya adalah Titik Parmuji (41 tahun), istri Risnandar.
Kelas tersebut setiap semesternya dibagi menjadi tiga, yaitu kelas pemula untuk jenjang sarjana, kelas pemula untuk jenjang master dan doktoral, dan kelas senior untuk jenjang sarjana, master dan doktoral. Setiap kelas maksimal menerima 20 siswa dan selalu penuh pada semester ganjil.
Meski dapat berbahasa Mandarin, dalam mengajar di kelas Risnandar mengaku tetap membutuhkan bantuan Bijin untuk menerangkan kata-kata khusus dalam bahasa Jawa, seperti iromo (irama), laras (nada), slendro (sistem 5 nada), pelog (sistem 7 nada) dan istilah-istilah lainnya.
Selain tantangan bahasa, tantangan lain adalah keterbatasan pengajar dan waktu berlatih. Bila di ISI Surakarta, dalam satu kelas bisa ada empat orang pengajar untuk 20 mahasiswa, namun di CCOM, hanya ada satu pengajar dibantu satu asisten dan mahasiswa juga hanya dapat berlatih selama 90 menit dalam satu pekan, atau satu kali pertemuan.
Bijin bercerita, awalnya saat Risnandar pertama kali mengajar bermain gamelan, mahasiswa ke-20 bermain ponsel, dan begitu Risnandar selesai mengajarkan mahasiswa ke-20, mahasiswa pertama sudah lupa lagi caranya. Jadi kesulitan teknis dalam mengajar itu memang sangat nyata.
Apalagi mahasiswa diajarkan semua instrumen dalam perangkat gamelan, antara lain bonang, kendang, demung, saron, peking, slenthem, kenong, kempyang, kempul, gambang, gong, dan instrumen lain.
Terlebih gamelan tidak punya notasi khusus saat dimainkan. Berbeda bila bermain piano yang memiliki notasi tertulis. Para mahasiswa pun sempat meminta Risnandar untuk menuliskan notasi, sehingga mereka bisa mengikutinya.
Akhirnya Risnandar menuliskan notasi satu per satu, tapi hasilnya para mahasiswa itu bermain gamelan seperti layaknya robot. Karena itu, notasi tersebut akhirnya tidak digunakan lagi. Akhirnya ditemukan cara yang lebih tepat, yaitu dengan menuliskan melodi balungan (pokok), kemudian notasi itu bisa tertulis hanya saat latihan, bukan saat pentas. Jadi para mahasiswa itu tetap harus mendengar ritme teman-temannya yang menggunakan alat lain.
Setelah berbagai uji coba, akhirnya Risnandar dan Bijin menemukan formula pengajaran dan menolong para mahasiswa untuk memainkan gamelan seperti di Indonesia.
Setelah mendapatkan formula pengajaran tersebut, Risnandar saat ini sedang fokus untuk tidak hanya mengajarkan bagaimana cara bermain gamelan, tapi juga nilai-nilai yang ada dalam gamelan itu sendiri, yaitu bagaimana gamelan dapat membantu seseorang untuk merasakan relaksasi, mengekspresikan diri maupun filosofi lain dalam gamelan.
Apalagi nilai-nilai dalam gamelan, memiliki kesamaan dengan nilai-nilai di masyarakat China, seperti kerja sama, saling menghargai satu sama lain, dan berangkat dari kesamaan tersebut, ia berharap gamelan dapat lebih dikenal di negeri Tirai Bambu itu.
Risnandar juga menilai tingkat stres masyarakat China cukup tinggi dengan kompetisi yang ketat, dan musik yang dihasilkan dari gamelan dapat menolong untuk relaksasi maupun meditasi.
Dengan perkembangan teknologi dan pendidikan di China, mereka sudah ada satu program musik untuk relaksasi dan sebenarnya gamelan bisa masuk ke ranah tersebut, terlebih di relief Candi Borobudur sudah ditunjukkan nilai-nilai gamelan yang penuh spritualisme, relaksasi, kebijaksanaan, tinggal bagaimana menuangkannya menjadi pengajaran konkrit.
Bijin Sang Asisten