Mulus Pegasus
Oleh : Dahlan Iskan--
Jalan dari kota Sangatta sudah dibangun. Konstruksinya beton. Jalan kembar. Panjangnya sekitar 15 km. Sudah jadi.
Dari atas juga terlihat kelokannya. Tapi ada masalah tanah di ujungnya. Saya diantar sampai mentok di ujung jalan itu. Tidak bisa sampai dermaga. Sedang dicor.
Saya pun pindah arah: ke pelabuhan ikan. Pelabuhan lama. Lalu cepat-cepat balik ke kota: jadwal wisuda sudah tiba. Saya diminta pidato yang pertama.
Kalau pelabuhan sepi itu sudah beroperasi beban jalan poros Samarinda-Sangatta bisa lebih ringan. Barang-barang dari Surabaya/Balikpapan/Banjarmasin ke Sangatta bisa lewat pelabuhan itu.
Rakyat di sana selalu mengeluhkan jalan poros itu. Lebih sering berlubangnya daripada mulusnya.
Setelah pesawat melewati dermaga sunyi itu tidak ada lagi yang bisa dilaporkan ke Anda. Pantai kosong. Pantai berlumpur.
Di menit ke 15 barulah tampak pelabuhan besar. Lengkap dengan tanki-tanki raksasa: warna putih metal. Juga bangunan pabrik besar-besar.
Saya masih menebak-nebak. Proyek apa itu. Teman di sebelah saya tertidur. Telinganya disumpal peredam suara. Semua penumpang memang diberi penyumpal lubang telinga. Tidak ada yang saling bicara.
''Oh...saya tahu: ini pabrik Pupuk Kaltim,'' kata saya dalam hati. Lalu saya reka-reka: mana yang tanki amoniak dan mana tanki bahan baku lainnya.
Terlihat juga pelabuhannya yang besar. Pabrik pupuk ini raksasa –pun dilihat dari udara.
Belum lagi pandangan Pupuk Kaltim berlalu sudah terlihat tanki-tanki besar lainnya. Juga pelabuhan besarnya. Saya pun langsung tahu: itu kompleks PT Badak.
Di situlah gas blok Mahakam diubah menjadi gas cair (LNG). Lalu dialirkan ke kapal tanki LNG. Dikirim ke luar negeri: Jepang.
Dari atas terlihat kompleks Pupuk Kaltim dan kompleks PT Badak seperti berimpitan. Dua proyek vital nasional itu kini seperti dikepung perumahan penduduk.
Kampung padat. Kampung besar. Itulah kota Bontang.
Terlihat juga stadionnya yang besar. Di situlah dulu tim Divisi Utama Pupuk Kaltim (almarhum) bermarkas.