Syarat Akan Sejarah, Beri Cerita Lain Dari Gemerlap Metropolis

KAMPUNG BHARU: Seorang warga Kampung Bharu duduk di depan rumah kerabatnya di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). ANTARA/Virna P Setyorini--

Rata-rata catnya berkelir kuning, merah, atau hijau yang menjadi ciri khas warna Melayu. Arsitektur rumah panggungnya tentu juga bergaya Melayu, meski beberapa ada pula yang memiliki sentuhan Bugis di sana, kata Fuad.

Salah satunya adalah rumah panggung berwarna merah di Jalan Haji Yahya Sheikh Ahmad yang sempat didatangi ANTARA bersama sejumlah wartawan dan pemengaruh atau influencerMalaysia dan asing, yang mengikuti fam tripdiadakan Islamic Tourism Center (ITC) sebagai bagian kegiatan Islamic Tourism Month (ITM) 2024 yang berlangsung dari 16 Agustus sampai dengan 30 September 2024.

Menurut Fuad, rumah panggung yang halamannya dimanfaatkan untuk tempat berniaga nasi lemak Warong Mak Nenek setiap pagi di hari kerja pada pukul 07.00 hingga 11.00 waktu Malaysia (MYT) itu memiliki bagian atap dengan sentuhan gaya Bugis Selangor.

Tentu ada sejarah panjang di sana. Fuad pun mengaku masih memiliki darah keturunan Minang.

Suleiman Mohamed dan Lokman Haji Mohd Zen dalam pengantar bukunya yang berjudul "Sejarah Kampung Bahru; Di Sini Awal Segalanya Bermula" menuliskan bahwa kehidupan di permukiman Kampung Bharu sangat sehat karena semuanya diatur rapi mengikuti tradisi kehidupan kampung Melayu. Setiap penduduk memiliki tanah setengah hektare (5.000 meter  persegi)

Benar saja, saat Fuad memperlihatkan satu rumah panggung berdinding kayu lainnya terletak di pertigaan Jalan Haji Hashim dan Jalan Hamzah, Kampung Bharu, tampak halaman yang begitu luas ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti ubi kayu, pisang, kelapa, dan tanaman rimpang yang ditanam dalam pot-pot kecil.

Kampung Bharu awalnya memang dibagi dalam tujuh kampung berukuran lebih kecil, dan rumah yang Fuad tunjukkan berada di lokasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah-rumah yang berdekatan dengan Sungai Klang di bagian selatan.

Halaman luas di sana menjadi salah satu ciri permukiman Melayu, yang biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sanak keluarga, termasuk juga saat mengadakan kenduri besar.

Kebiasaan menanam ubi kayu di halaman rumah sudah lama dilakukan dan menjadi semacam ketahanan pangan kala Perang Dunia Kedua terjadi. Dan, menanam ubi kayu masih dilakukan di rumah-rumah dengan halaman yang luas di kampung tersebut hingga kini.

Sekarang, rumah panggung berdinding kayu, beratapkan seng, dan berpagarkan tanaman itu tampak begitu bercerita di tengah modernisasi kawasan urban Kuala Lumpur.

Jika dipandang dari halaman depan, rumah panggung itu kini berlatar sebuah gedung apartemen menjulang di Jalan Raja Muda Abdul Aziz, yang dianalogikan oleh Fuad sebagai monster.

Rumah berhalaman luas itu memang jadi tampak begitu mungil dalam pandangan mata. Tampilan itu begitu kontras, menceritakan sisi lain Kuala Lumpur.

Dan lokasi itu menjadi salah satu titik favorit untuk berburu foto menarik di Kampung Bharu, selain tanah kosong penuh semak nan hijau dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kejauhan, termasuk Menara Kembar Petronas yang Fuad tunjukkan di Lorong Raja Muda Musa.

Nostalgia

Fuad mengajak rombongan ke rumahnya. Sebagian besar dinding rumah dua lantai itu juga masih terbuat dari kayu namun dengan halaman yang tidak terlalu luas.

Tag
Share