Syarat Akan Sejarah, Beri Cerita Lain Dari Gemerlap Metropolis
KAMPUNG BHARU: Seorang warga Kampung Bharu duduk di depan rumah kerabatnya di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, Selasa (3/9/2024). ANTARA/Virna P Setyorini--
Kaligrafi bertuliskan “Bismillahirrahmanirrahim” dipasang tepat di atas pintu masuk. Beberapa kaligrafi lain juga terpasang di dalam rumah, bersama dengan sejumlah lukisan dan pajangan lainnya.
Semua yang datang bertamu pagi itu setuju untuk menyebut rumah masa kecil Fuad terasa nyaman dan hangat. Rumah itu mampu bercerita tentang generasi ke generasi dari mereka yang pernah tinggal di sana.
Tumpukan buku dengan warna kertas telah berubah kecokelatan tersusun di dalam lemari kaca di salah satu sudut ruangan. Buku-buku itu, menurut Fuad, merupakan koleksi milik kakeknya.
Berbagai pernak-pernik tersusun di atas rak-rak di ruang tamu, yang menyatu dengan ruang makan. Termasuk koleksi jam tangan yang ditata rapi dalam satu rak kaca.
Ruangan sebelahnya menjadi studio mini, tempat anggota keluarga atau siapa pun yang berkunjung biasa bercengkerama, bernyanyi bersama. Termasuk siang itu, ayah Fuad menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul "Sukiyaki" (Ue o Muite Arukou) karena mengetahui salah satu pemengaruh yang datang berasal dari Negeri Sakura.
Ayah dan salah seorang saudara Fuad masih menempati rumah tersebut. Itu, menurut Fuad, merupakan tradisi masyarakat Melayu yang masih dilakukan, bahwa salah satu anak akan tetap tinggal bersama orang tua mereka, sedangkan anak-anak lainnya akan meninggalkan rumah.
Suasana Kampung
Berjalan mengarah ke Masjid Jamek Kampung Bharu, menyusuri Lorong Raja Muda Musa 6, rombongan berhenti sejenak untuk kembali menikmati pemandangan kontras antara modernisasi dan tradisional.
Fuad membuka gerbang salah satu rumah panggung dengan halaman luas di sana, seketika beberapa pemengaruh dalam rombongan berteriak hampir serempak karena melihat beberapa ayam berlarian di halaman belakang rumah. Menurut mereka, itu pemandangan langka di tengah kota seperti Kuala Lumpur, suasana kampung begitu terasa.
Ciri khas lainnya dari rumah itu, kamar mandi atau WC berada terpisah dari rumah utama. Dalam satu area halaman luas itu masih ada beberapa bangunan lain, yang biasanya dihuni kerabat dekat.
Bersebelahan dengan rumah tersebut juga ada deretan rumah berukuran lebih kecil tanpa pagar. Seorang nenek duduk di bangku kayu depannya, tersenyum saat rombongan melintas.
Ia generasi ke-2 penduduk asli Kampung Bharu, dan mengaku sudah berusia lebih dari 90 tahun. Selama itu pula dirinya tinggal di sana, menghuni salah satu rumah yang berdempetan dengan rumah-rumah kerabatnya.
Hanya berbeda beberapa rumah dari sana dapat ditemukan sebuah warung sederhana yang menjual berbagai keripik dan kue kering tradisional. Rempeyek, kuih bangkit, kuih ros atau di Indonesia dikenal sebagai kembang goyang juga dijual di warung tersebut.
Suasana kampung begitu terasa meski pada saat yang sama sebenarnya sedang berada di pusat sebuah kota, yang bahkan berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari ikon Menara Kembar Petronas. Sisi lain dari metropolis itu yang juga ingin diperlihatkan sebagai salah satu lokasi wisata ramah Muslim di Kuala Lumpur. (*)