Bahagia Adalah Hak Semua Orang, Termasuk Para Penyintas Bencana
ANAK PENGUNGSI: Sejumlah anak-anak pengungsi sedang mengikuti permainan edukatif bersama penyuluh dari Kementerian Sosial RI di Posko Pengungsian Desa Konga, Kab. Flores Timur, NTT, Kamis (7/11/2024). --
Ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan anak di tengah bencana itu adalah hal biasa, karena mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena sejatinya orang dewasa juga berhak bahagia. Bahagia adalah hak semua orang.
Posko pengungsian tidak membuat para pengungsi dewasa menjadi pengangguran. Setiap harinya, ada saja agenda yang dilakukan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.
Setiap pagi, para pengungsi umumnya melakukan senam pagi bersama, sebelum nantinya mereka pergi melanjutkan aktivitasnya.
Bagi kaum perempuan, sebagian besar terlibat dalam kepengurusan dapur umum, demi memastikan hajat para pengungsi lainnya juga terpenuhi.
Momentum memasak bersama, sembari bercengkerama, merupakan momen yang tidak bisa terlupakan bagi mereka. Sebab, mereka bisa tetap bersosialisasi sambil melakukan kegiatan yang produktif, hingga mereka bisa melupakan bencana yang menimpa.
Bagi kaum laki-laki, umumnya mereka beraktivitas sebagaimana biasanya. Namun, hiburan sebenarnya baru dimulai, kala rembulan memancarkan sinarnya.
"Tes, satu, dua, tiga," terdengar dari pengeras suara. Dengan suara yang bulat, khas pria asal Indonesia bagian Timur, seolah menjadi aba-aba bahwa hiburan bagi kaum laki-laki akan dimulai.
Perlahan, terdengar alunan musik khas Indonesia bagian Timur mulai diputar. Satu orang mulai menyanyi, seakan-akan mengundang pengungsi lainnya untuk ikut menyumbang suara.
Tidak terasa, bisa dihitung puluhan laki-laki turut andil dalam gelaran pentas musik dadakan yang bisa selesai hingga larut malam itu.
Dukungan Psikososial
Saat bencana terjadi, perhatian utama seringkali terfokus pada upaya penyelamatan jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, air, dan tempat berteduh.
Namun, ahli mengatakan kebutuhan psikologis dan emosional tidak boleh diabaikan. Para pengungsi tidak hanya kehilangan rumah atau harta benda, mereka juga kehilangan rasa aman dan stabilitas hidup yang mereka miliki sebelum bencana.
Kehilangan ini bisa memicu reaksi stres, kecemasan, dan bahkan gangguan pascatrauma yang jika tidak ditangani, dapat berdampak jangka panjang bagi psikis mereka.
Kegiatan-kegiatan sebagaimana yang dilakukan oleh para pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki merupakan kegiatan yang mendorong kebersamaan dan solidaritas antarpengungsi.
Mereka yang mengalami situasi serupa sering kali bisa saling menguatkan. Kelompok pendukung, yang difasilitasi oleh para psikolog atau pekerja sosial dari pemerintah maupun pihak lainnya, dapat membantu para pengungsi untuk berbagi cerita dan perasaan mereka.