Dangkal Dalam
Oleh : Dahlan Iskan--
Si soulmate adalah seorang dokter. Ahli bedah jantung dan pembuluh darah. Tinggalnya di Sacramento, kota kecil yang jadi ibu kota California. Ternyata mereka sudah sering saling berkunjung. Bulan lalu John yang ke rumah si soulmate di Sacramento. Juga satu minggu di sana.
Begitu tahu ia ahli bedah jantung cardiovascular saya mencoba menghentikan kejengkelan mereka lewat info yang saya kira akan menarik perhatiannya: "saya mengalami aortic dissection lima tahun lalu."
Reaksinya jauh dari perkiraan saya.
"Jangan ajak saya bicara soal kedokteran!" katanya. Keras. Mengentak. Masih mirip usia 60 tahun. Tangannya menggebrak meja bar di dekat dapur.
"Saya sudah lama pensiun. Saya tidak mau bicara apa pun tentang kedokteran," sergahnya.
Akhirnya saya menyimpulkan: ada misteri lain di balik kejengkelannya pada Trump. Rasanya ada dua kejengkelan menjadi satu dalam dirinya. Jengkel pada Trump, jengkel pula diajak bicara dengan topik yang lagi ingin ia lupakan.
Berarti ada misteri di dalam dirinya. Saya harus bisa "membongkar" misteri apa yang ia alami saat berprofesi di kedokteran.
Lain hari saja. Jangan sekarang. Masih ada waktu. Suami-istri itu masih tiga hari lagi di rumah John. Saya masih belum tahu sampai kapan. Masih banyak waktu untuk menguak rahasianya.
Usianya baru 60 tahun saat ia memutuskan berhenti total sebagai dokter. Anaknya tiga orang. Tidak ada yang jadi dokter. Mereka menyebar di tiga negara bagian. Salah satunya di kota Wichita, Kansas tengah. Sebelum bertandang ke rumah John ini ia ke rumah anak cucunya di Wichita --empat jam dari rumah John.
Ia juga sering ke rumah anak cucunya yang lain. Naik mobil. Dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Naik pesawat. Atau mengemudi mobil sendiri. Usia 85 tahun masih selalu pegang kemudi.
Mereka pun melanjutkan bicara soal pilpres lagi. Saya diminta gabung di forum kejengkelan itu. Saya bergabung. Tapi harus tahu menempatkan diri. Saya tidak boleh menyiramkan bensin ke atas bara yang membara.
Saya hanya bercerita soal kunjungan saya ke rumah masa kecil Kamala di Oakland. Juga soal batalnya rencana begadang sepanjang malam untuk melihat parade kemenangan Kamala di kampungnyi itu.
"Asia rasanya senang dengan kemenangan Trump. Ada jaminan tidak akan ada perang lagi," kata saya.
"Bagaimana dengan Tiongkok?" tanya John yang pernah saya ajak ke sana.
"Rasanya Tiongkok juga senang," jawab saya ngawur. "Secara tradisional Tiongkok lebih sulit ketika yang berkuasa di sini Demokrat."