Pemberantasan Korupsi Butuh Tindakan Nyata
Mantan Ketua Komisi III DPR Pieter Zulkifli.--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyatakan bahwa pidato Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan niat untuk memberi pengampunan kepada koruptor, dengan syarat mereka mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara, perlu disertai dengan tindakan yang lebih konkret.
Menurut Pieter, masalah korupsi di Indonesia sudah jauh lebih besar daripada sekedar isu individu, melainkan persoalan struktural yang memerlukan reformasi mendalam.
Pieter menegaskan bahwa tanpa adanya keberanian dan konsistensi dari seorang pemimpin, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya akan menjadi wacana tanpa makna. Menurutnya, sebuah komitmen yang nyata dari Presiden Prabowo harus lebih dari sekadar pidato atau janji politik semata.
"Saat ini, korupsi sudah menjadi masalah yang sangat sistemik. Untuk menanggulanginya, Presiden harus menunjukkan sikap tegas, bukan hanya sekadar membahasnya di forum publik," ujar Pieter dalam pernyataan tertulisnya.
BACA JUGA:Pengampunan Koruptor Melalui Persetujuan MA dan DPR
BACA JUGA:WADUH! Mahfud Sebut 84 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi
Pernyataan Prabowo yang ingin memberikan amnesti kepada koruptor dengan syarat pengembalian dana hasil korupsi, menurut Pieter, sebenarnya mencerminkan prinsip pemulihan aset negara yang ada dalam konvensi internasional, seperti UN Convention Against Corruption (UNCAC). Namun, hal tersebut harus diimbangi dengan langkah nyata yang lebih substantif.
Pieter juga menyinggung pendapat Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, yang mendukung pendekatan restoratif dalam pemberantasan korupsi. Menurut Yusril, pendekatan ini lebih fokus pada pemulihan dan memperbaiki kerugian negara, ketimbang sekadar menghukum.
Namun, meskipun ada dukungan terhadap strategi ini, Pieter mengingatkan bahwa langkah konkret dari Prabowo dalam pemberantasan korupsi masih sangat minim.
Bahkan, pada pidato pelantikannya dua bulan lalu, Prabowo sempat mengakui adanya kebocoran anggaran negara, namun sampai sekarang tidak ada langkah lanjutan yang terlihat.
"Komposisi kabinet yang dipilihnya pun menuai kritik. Beberapa anggota kabinet yang memiliki jejak rekam kasus korupsi menambah keraguan publik terhadap keseriusan Prabowo dalam pemberantasan korupsi," kata Pieter.
Pieter juga menilai bahwa sejarah menunjukkan peran Presiden sangat vital dalam keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai contoh, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun ada kasus besar seperti skandal Bank Century yang melibatkan pejabat tinggi, kasus tersebut tetap berjalan tanpa ada intervensi yang signifikan dari kekuasaan.
“Pertanyaannya, apakah Prabowo akan mengambil langkah tegas untuk memperkuat KPK atau justru sebaliknya, ia akan membiarkan lembaga ini semakin melemah?” tambahnya.
Korupsi di Indonesia, menurut Pieter, tidak lagi bisa dilihat sebagai masalah individu atau kelompok kecil. Ia telah menjadi bagian dari sistem yang melibatkan seluruh lapisan pemerintahan, mulai dari birokrasi hingga sektor swasta. Sistem ini, lanjut Pieter, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan tanpa adanya reformasi struktural yang menyeluruh.