Kolaborasi Global Diperlukan untuk Cegah Dampak AMR yang Bisa Menjadi Pandemi Sunyi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar (kiri) dan Menterian Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kanan) dalam pertemuan untuk membahas penguatan kerja sama bidang pengawasan obat dan makanan.--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO– Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menekankan perlunya kerjasama global dalam mencegah dan menangani masalah resistensi antimikroba (AMR), yang diperkirakan dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050, menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). AMR, yang dikenal sebagai "pandemi sunyi," diprediksi akan menambah jumlah kematian yang lebih tinggi daripada penyakit kanker.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar, mengungkapkan dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta bahwa AMR memiliki potensi untuk merusak sistem kesehatan dunia secara besar-besaran.
Dengan semakin berkembangnya mikroorganisme yang kebal terhadap antibiotik dan antimikroba lainnya, kemampuan manusia untuk mengatasi infeksi berbahaya dapat terganggu. Hal ini menciptakan ancaman bagi keselamatan dan kesehatan publik secara global.
BACA JUGA:KPK Tetapkan Tiga Tersangka Korupsi APD pada Masa Pandemi COVID-19
BACA JUGA:Hubungan Tingkat Spiritualitas dengan Kecemasan Lansia, Dalam Masa Pandemi Covid-19 di Panti Werdha Budi Luhur
“Risiko AMR sangat besar. Pada 2050, diperkirakan dampak ekonomi akibat resistensi ini bisa mencapai kerugian sebesar 100 triliun dolar AS, atau sekitar 3,8 persen dari PDB global,” ujar Taruna dalam kesempatan menerima penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh dari Universitas Prima Indonesia di Medan, Sumatera Utara.
Menurutnya, negara-negara berkembang kemungkinan akan paling terpengaruh, dengan jutaan orang terancam kembali jatuh ke dalam kemiskinan akibat pengeluaran kesehatan yang membengkak dan produktivitas tenaga kerja yang menurun drastis.
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan di negara-negara ini juga akan menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan protokol pengobatan baru yang jauh lebih mahal dan kompleks.
“Prosedur medis yang selama ini dianggap rutin, seperti operasi caesar, penggantian sendi, dan kemoterapi, bisa menjadi sangat berisiko tinggi. Potensi komplikasi infeksi akan sangat besar,” tambahnya.
Di Indonesia, fenomena AMR lebih rumit karena dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan keberagaman sistem kesehatan.
Sebagai negara dengan kekayaan ekosistem yang melimpah dan sistem kesehatan yang beragam, Indonesia harus mengembangkan pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual dalam menghadapi tantangan ini.
“Penting untuk merancang strategi nasional yang berbasis riset, yang tidak hanya fokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan mendasar dalam cara penggunaan antimikroba di berbagai sektor, termasuk kesehatan, pertanian, dan peternakan,” kata Taruna.
Taruna menjelaskan bahwa AMR terjadi ketika mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit, mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup meskipun sudah terpapar obat antimikroba yang sebelumnya efektif.
Proses ini merupakan bagian dari seleksi alam, di mana mikroorganisme yang memiliki mutasi genetik yang memungkinkan mereka bertahan hidup akan berkembang biak, sementara yang lainnya mati.
“Bakteri, misalnya, dapat mengalami mutasi genetik hanya dalam waktu singkat, sehingga mereka bisa dengan cepat mengembangkan mekanisme untuk melawan obat-obatan antimikroba yang sebelumnya dapat membunuh mereka,” tambahnya.
Karena itu, Taruna menegaskan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan AMR membutuhkan peran aktif dari semua pihak — pemerintah, institusi, dunia usaha, dan masyarakat — dalam bekerja sama, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk menghindari eskalasi krisis ini yang dapat merugikan seluruh umat manusia. (*)