Serangan Informasi Membuat Kabur Prinsip Edukasi
Gamaliel Septian Airlanda Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana--
Oleh : Gamaliel Septian Airlanda
SEBENTAR lagi akan masuk masa pembagian raport siswa yang sudah disusun oleh guru di sekolah masing-masing. Akhir semester dan akhir tahun 2023 telah tiba. Situasi ini juga mengingatkan pada sebuah lagu yang dirilis 12 tahun lalu oleh penyanyi cilik Tasya dengan judul “Libur Telah Tiba”.
Penggalan syairnya berbunyi “simpanlah tas dan bukumu, lupakan keluh kesahmu”. Sebuah deskripsi situasi yang menggambarkan kemerdekaan dari ribetnya kehidupan di sekolah. Sepertinya syair ini masih cukup relevan dengan situasi tahun 2023.
Guru-guru yang sibuk mengerjakan 60% aktivitas administrasi dan 40% mengajar ikut berbisik lirih menantikan masa libur akhir tahun. Perasaan dibuat dag-dig-dug untuk segera merasakan kemerdekaan mereka dari belenggu modul ajar, modul projek, administrasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), administrasi kenaikan pangkat, rapat dinas, pengisian Sasaran Kerja Pegawai (SPK), administrasi Penilaian Angka Kredit (PAK).
Namun, di hati kecil mereka tersimpan rasa bangga telah melakukan rangkaian proses panjang selama satu tahun dengan siswa. Guru Sekolah Dasar (SD) menjadi salah satu kelompok guru yang merasakan betapa indahnya berproses bersama dengan siswa-siswi kecil yang nantinya akan mereka lihat tumbuh dewasa. Situasi kompleks ini menjelaskan suka dan duka menjadi seorang pendidik.
Masa libur perlu menjadi sarana para pendidik untuk melakukan refleksi yang kemudian ditindaklanjuti di tahun 2024. Guru di lapangan ternyata diserang dengan jumlah dan variasi informasi dunia modern yang tidak terbendung, di tengah rangkaian kesibukannya yang menguras konsentrasi.
Telah diprediksi sebelumnya oleh para ahli bahwa manusia akan merasakan dampak dari Big Data yang menjadi ciri khas dari era Industrial 4.0 atau bahkan 5.0. Universitas Multimedia Indonesia melalui umn.ac.id pada 17 Juli 2023 merilis sebuah artikel bahwa ada 4 dampak negatif Big Data, yaitu: kualitas data yang dipertanyakan, kurangnya praktisi data, resiko keamanan, perlunya hardware. Dampak negatif tentang kualitas data yang dipertanyakan ternyata menyerang lini pendidikan termasuk para guru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menangani total 3.380.241 guru, dengan sejumlah 1.480.575 merupakan guru SD (sumber dapo.kemdikbud.go.id). Besarnya jumlah guru membuat variasi kualitas informasi pendidikan pada masing-masing guru berbeda jika tidak ditangani secara serius.
Data tentang variasi pemahaman informasi khususnya pada komponen Kurikulum Merdeka telah terdeteksi di program Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG DJ) Universitas Kristen Satya Wacana. Guru-guru tidak mengetahui informasi yang pasti tentang makna masing-masing poin dari Profil Pelajar Pancasila sebagai ciri utama Kurikulum Merdeka. Dengan pengalaman selama 10-15 tahun dan sebenarnya telah menjalani 1 hingga 1,5 tahun implementasi Kurikulum Merdeka di sekolah.
Tapi kenyataannya, selama masa implementasi itu, guru-guru seperti seorang penderita miopi yang tidak menggunakan alat bantu kacamata atau softlens. Pemahaman mereka “kabur” saat membahas poin: beriman, bertakwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, kreatif. Mereka mengelola pembelajaran seolah-olah disamakan hanya dengan satu bagian evaluasi sikap atau evaluasi afektif.
Kesenjangan ini muncul ketika definisi serta contoh penerapan keenam poin Profil Pelajar Pancasila ditemukan sangat beragam di internet. Tidak ada hal yang pasti bagi para guru karena kata sumber yang satu dengan sumber yang lain berbeda. Kepala sekolah menerjemahkan enam poin ini berbeda.
Dinas pendidikan dan para pengawas sekolah punya definisinya sendiri. Melimpah ruahnya contoh-contoh modul ajar dan modul projek di website, blog, artikel koran, laman online pribadi, membuat guru asal ambil dan asal tiru.
Pengalaman “kaburnya” sebuah prinsip edukasi seperti ini terkuak ketika PPG. Parahnya, dosen-dosen pendidik guru profesional atau dosen PPG tidak mendapatkan fasilitas bimbingan teknis yang jelas dan sah dari pembuat kebijakan tentang prinsip yang benar dari Profil Pelajar Pancasila.
Akibatnya, sang dosen pun memberikan informasi “kabur” pada enam poin penting penunjang Kurikulum Merdeka ini. Lingkaran setan “kaburnya prinsip edukasi” telah menyerang guru di lapangan. Kasihan mereka para pelita harapan siswa. Terang dari pelita guru-guru ini tidak menunjukkan arah yang jelas.