Perlunya Sistem Pendidikan di Kedokteran Untuk Dukung Obat Herbal
Petugas meramu obat herbal berupa rempah-rempah untuk pasien di Klinik Saintifikasi Jamu--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.BACAKORAN.CO-Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto dr. Yeni Bahar M.Si (Herbal) mengatakan diperlukan sistem pendidikan dengan bekal ilmu pengetahuan di bidang herbal agar dokter bisa meresepkan obat yang bersumber dari alam Indonesia yang disebut fitofarmaka.
"Karena kita fitofarmaka obatnya diresepkan dokter karena dokter punya background medis untuk diagnosis penyakit, jadi diharapkan background dokter mendiagnosis dapat memberikan obat sesuai dengan anamnesis, kondisi fisik dan penunjang lainnya," kata Yeni dalam diskusi kesehatan HUT Persatuan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) yang diikuti secara daring di Jakarta.
Fitofarmaka merupakan obat dengan campuran herbal yang diresepkan dan sudah teruji klinis keamanan dan khasiatnya. Fitofarmaka juga merupakan obat yang sudah teruji di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan memiliki khasiat serta keamanan dan jaminan ketersediaan bahan baku.
Dokter lulusan Universitas Indonesia itu mengatakan Indonesia yang memiliki ratusan hektar tanaman herbal bisa menjadi potensi meningkatkan fungsinya jika banyak fakultas kedokteran yang mempelajarinya sebagai kurikulum dalam pendidikannya.
Yeni juga mengatakan semua tumbuhan bisa memiliki banyak zat aktif, diisolasi dengan penelitian dan dilakukan sintesisnya. Diketahui juga bahwa tanaman obat banyak digunakan berdampingan dengan obat konvensional, misalnya untuk pengobatan terapi kanker, jantung, dan stimulan.
BACA JUGA:Produk Hilirisasi Batu Bara Perlu Dioptimalkan, Ini Alasannya
BACA JUGA:SIAGA! Jambi Masuki Status Hidrometeorologi
Namun berbagai tantangan masih dihadapi untuk menerapkan penggunaan obat herbal setara dengan obat konvensional mulai dari ketersediaan bahan baku obat dan biaya penelitian yang tinggi.
"Penelitian ke arah fitofarmaka bukan hanya dari perguruan tinggi tapi harus ada kerja sama dari farmasi lain. Penggunaan obat dengan bahan alam juga masih terbatas yang terstandar yang dikhawatirkan sumbernya beda-beda," kata Yeni.
Tantangan lain yang dihadapi juga masih minimnya lulusan kedokteran yang mempelajari ilmu obat-obatan herbal. Upaya pemerintah dalam undang-undang percepatan penggunaan fitofarmaka ke masyarakat, juga membuat fakultas atau program studi penting menerapkan kurikulum yang sesuai kompetensi.
Pasien atau dokter juga perlu memahami obat konvensional dapat memberikan reaksi berlebihan bagi tubuh, sehingga sebagian besar masyarakat masih banyak yang memilih obat-obatan tradisional yang dinilai aman.
Di sinilah peran dokter penting untuk mengingatkan dosis yang tepat dalam penggunaan obat herbal dan meresepkan fitofarmaka, yang bisa untuk pengobatan preventif untuk menguatkan imunitas, kuratif maupun paliatif untuk yang bersifat mengobati.
"Tepat dosis diperlukan, jika berlebihan ada efek samping dari dosis yang tidak tepat. Karena anggapan pasien umumnya semakin banyak konsumsi semakin cepat sembuh," ucapnya.
Semakin banyaknya fakta kedokteran ini Yeni berharap semakin banyak magister kedokteran herbal yang diadakan di universitas negeri dan swasta lainnya, sehingga bisa memenuhi kebutuhan dari kompetensi dokter herbal atau jamu di Indonesia agar jamu bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. (ant)