Jembatan Butuh
Oleh : Dahlan Iskan--
Ada Mbok Brewok di halaman Balairung Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saya sulit menyebutnya: dia atau ia. Tidak cantik juga tidak ganteng.
Dia/ia pakai kebaya. Pakai gelungan rambut tersanggul. Pakai lipstik. Tidak pakai BH. Dadanya rata. Kumisnya melintang. Jenggotnya membrewok. Suaranya besar.
Di situ Mbok Brewok jualan makanan. Di rombong sederhana tapi bermerek.
Mereknya itu yang sensitif: Bajingan –akronim dari bajigur dan gorengan. Laris.
Istri saya beli bajigur dua porsi. Teman-teman istri juga beli –sambil minta bisa foto bersama Mbok Brewok.
Mbok Brewok memang alumnus sekolah seni terkenal di Yogyakarta –Institut Seni Indonesia (ISI).
Nama aslinya: Ichsan. Laki-laki. Ia/dia seniman merangkap pengusaha kecil.
Bajigurnya asli desa Cangkringan di lereng gunung Merapi. Itulah desa Mbah Marijan –pawang Merapi yang tewas akibat ledakan gunung yang dijaganya.
Dan dia/ia tidak sendirian. Ada yang lebih senior di situ: Ong Harry Wahyu. Jualan lain lagi. "Saya baru selesai rapat dengan Mas Butet," ujar Wahyu tergopoh.
Butet Kartaredjasa memang akan punya gawe besar minggu depan: Tumbuk Ageng. Di Padepokan Bagong Kussudiardja, yang dibangun almarhum ayahandanya.
Tahun ini Butet berusia 64 tahun. Mestinya diperingati November lalu. Tidak. Akan disatukan di tanggal 26 Desember nanti. Agar bertepatan dengan Tumbuk Ageng.
Tumbuk artinya bertemu tanpa janjian. Ageng, Anda sudah tahu. Ketika Anda berusia 64 tahun maka hari kelahiran Anda dan weton pasaran Anda persis sama saat Anda dilahirkan.
Sebenarnya tiap 8 tahun hari dan weton juga bertemu. Tapi di umur 64 tahun itulah terjadi pertemuan ke delapan kalinya. Delapan tahun delapan kali. Karena itu disebut ageng.
Perayaan Tumbuk Ageng seperti itu jarang dilakukan oleh orang Jawa masa kini. Saya pun lupa ketika usia menginjak 64 tahun. Pikiran saya saat itu lagi serius ke penyakit kanker di hati.