Negara Mawa Tata, Desa Mawa Cara
PEMENTASAN: Sejumlah pegiat komunitas seniman petani mementaskan performa seni dalam acara "Sesrawungan Generasi Muda Lintas Agama" di Hotel Atria Kota Magelang, beberapa waktu lalu. --
Lebih Dekat Dengan Komunitas Seniman Berbasis Petani Dusun di Magelang
Komunitas seniman berbasis petani dusun itu dirintis dan dihidupi lebih dari dua dasawarsa terakhir oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut (70). Seperti apa ceritanya?
Setelah menghadirkan pementasan di tengah temu bincang kalangan muda lintas agama, sejumlah seniman petani dusun terlihat nongkrong dan mengobrol santai di lantai teratas yang terbuka di salah satu hotel di Kota Magelang, Jawa Tengah.
Sejumlah tema aktual perbincangan diungkap mereka dengan beberapa pemimpin sejumlah kelompok seniman petani setempat itu, serasa diiringi secara ringan angin sejuk Gunung Tidar yang melewati tempat tertinggi hotel tersebut.
Tentu saja di tengah musim politik lima tahunan ini, perihal perkembangan terkini, dinamika pemilu hadir dengan hangat dalam perbincangan mereka juga, sambil menunggu pengumuman panitia acara untuk jam makan siang, waktu itu.
Tidak ada di antara mereka yang mengobrol tersebut terhalang ketentuan rigit tentang netralitas aparatur pemerintah dalam pesta demokrasi, sehingga perbincangan sedemikian terkesan terbuka, tanpa beban, dan tentu sambil guyon simpang siur tak keruan.
Perbincangan mereka tentang tajuk politik pemilu, rasa-rasanya seperti mengejawantahkan peringatan Hari Peradaban Desa yang dirintis dalam beberapa tahun terakhir, setiap 21 Mei, oleh kelompok besar seniman Komunitas Lima Gunung.
Komunitas seniman berbasis petani dusun itu dirintis dan dihidupi lebih dari dua dasawarsa terakhir oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut (70). Para personel komunitas tersebut berasal dari kalangan petani dengan tokoh-tokoh penting dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang.
Tahun lalu, peringatan Hari Peradaban Desa menyajikan tema, "Negara mawa tata, desa mawa cara". Rumusan kalimat tema tersebut mengambil ungkapan populer di kalangan masyarakat desa di Jawa, termasuk tak pernah luput sering diujarkan dalang ketika di bawah kelir sedang memainkan pementasan suatu lakon wayang.
Ungkapan itu mungkin boleh diartikan secara gampang dicerna, sebagai "Negara mengemban kuasa menata kehidupan rakyat dengan menghadirkan aturan, sedangkan rakyat melaksanakan tatanan negara dengan kearifannya".
Tema "Negara mawa tata, desa mawa cara" diakui oleh Ketua Komunitas Lima Gunung Sujono tak hendak mempertentangkan antara kuasa negara dan eksistensi desa, namun justru tentang pesan atas suatu nilai keselarasan dalam relasi batin keduanya.
Desa menjadi inspirasi dan aspirasi penting bagi negara dalam mengeluarkan regulasi, sedangkan negara menghadirkan kebijakan untuk rakyat banyak dan beragam kehidupan dalam rupa suatu tatanan. Tatanan hidup bersama yang baik, berterima, dan mantap menjadi salah satu fondasi penting bagi terwujudnya peradaban.
Dalam perbincangan mereka, tak ada satu pun berwajah kecut atau tersinggung ketika pimpinan-pimpinan masing-masing kelompok seniman petani dusun menunjuk sejumlah sampel personelnya atas keberpihakan terhadap partai politik yang berbeda-beda di satu dusun. Bagi warga, perbedaan pilihan politik tak menjadikan kehidupan bersama cacat atau bahkan runtuh.
Terhadap pemilu presiden-wakil presiden, tampaknya mereka dalam satu dusun telah mengambil kesepakatan bulat akan memilih salah satu pasangan kandidat. Begitu pula, kekompakan kelompok mereka dari dusun lainnya tentang hal tersebut.