60 Persen Masyarakat Menolak Keberadaan Mereka

ALAT MUSIK: David Williams memainkan alat musik Didgeridoo di Jakarta, Selasa (5/7/2021). --

Cerita Keberadaan Suku Asli Aborigin di Benua Putihnya Asia

Perjuangan kaum adat Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres di Australia untuk mendapatkan pengakuan hak masyarakat adat atau Bangsa Pertama (First People) dalam konstitusi, kembali membentur tembok. Istilah Bangsa Pertama merujuk kepada kelompok masyarakat yang nenek moyang mereka sudah ada di Benua Amerika atau Australia, jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.

 

ABORIGIN,kelompok masyarakat yang merupakan 3,8 persen dari total 27 juta populasi Benua Kanguru itu, harus menerima kenyataan pahit. Berdasarkan hasil referendum pada 15 Oktober 2023, atau referendum pertama di Australia, setelah hampir seperempat abad, nyaris 60 persen rakyat menolak hak mereka dalam konstitusi.

Artinya, keberadaan suku yang sudah menempati benua itu selama lebih dari 60.000 tahun, tidak diakui oleh orang-orang yang datang belakangan dan mendiami benua tersebut sejak 235 tahun. Para pemimpin Masyarakat Adat Australia pun kemudian menaikkan bendera setengah tiang dan perenungan selama satu pekan sebagai tanda berduka.

Hasil referendum tersebut menandai kemunduran besar upaya rekonsiliasi dengan komunitas masyarakat adat, serta merusak citra Australia di dunia tentang bagaimana negara itu memperlakukan warga dari Bangsa Pertama. Berbeda dengan suka bangsa lain dengan sejarah yang sama, seperti Kanada dan Selandia Baru, Australia belum secara resmi mengakui atau mencapai kesepakatan dengan Bangsa Pertama mereka.

Dalam referendum tersebut, terdapat pertanyaan yang harus dijawab masyarakat Australia, yaitu "UU yang Diusulkan: untuk mengubah Konstitusi mengakui Masyarakat Pertama Australia dengan membentuk Suara Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres. Apakah Anda menyetujui usulan perubahan ini?"

Para pemilih harus menulis "ya" di kertas suara jika mereka setuju dengan usulan perubahan konstitusi, atau menulis "tidak" jika tidak setuju. Dan hasilnya sangat menyakitkan, karena ternyata hampir 60 persen menjawab "tidak".

Jade Ritchie, yang berkampanye untuk pilihan "ya", setelah hasil referendum keluar pada Sabtu 14 Oktober tahun lalu, mengatakan seluruh negara harus berduka atas hilangnya kesempatan.

Akibat dari kegagalan referendum tersebut adalah kemunduran besar bagi upaya rekonsiliasi dengan masyarakat asli di negara tersebut, yang dengan susah payah diupayakan oleh pemerintahan sebelumnya, sekaligus sebagai upaya untuk menebus dosa kaum penjajah dari Eropa.

"Kerusakan akibat pemungutan suara pada Sabtu tersebut akan sangat parah," demikian menurut sebuah editorial di Sydney Morning Herald, mengomentari hasil referendum tersebut.

Australian Financial Review, surat kabar ekonomi terbesar di negeri tersebut, menyebut hasil referendum sebagai "menyakitkan" bagi masyarakat pribumi yang sudah mengalami penindasan dan diskriminasi sejak benua tersebut diduduki Inggris Raya pada 1788.

 

Tidak Semua Mendukung

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan