Klimaks Kedua
Oleh : Dahlan Iskan--
"Kok wanita Thailand?"
"Banyak wanita Thai di Kelantan. Kan dekat perbatasan," katanya. "Dan lagi kalau kawin dengan wanita Melayu kan harus masuk Islam," tambahnya.
Orang pertama yang membiakkan durian Kunyik di pulau Raya adalah keturunan imigran tersebut.
Namanya: Wee Chong Bing. Kalau tidak ada Chong Bing mungkin saja durian Kunyik sudah punah. Dianggap tidak enak. Pahit.
Berkat Chong Bing itulah durian Kunyik berkembang. Disenangi. Lalu jadi Raja Kunyik.
Raja dalam bahasa Mandarin disebut ''wang''. ''Mao'' adalah musang. Atau tupai. Sebangsanya. Itulah binatang yang suka naik pohon durian Kunyik.
''Naik'' disebut ''shang''. Musang menyukai durian. Seperti halnya kepiting menyukai kelapa. Keiting suka naik pohon kelapa. Di Gorontalo. Di sana kepiting paling gurih adalah yang suka naik pohon kelapa itu.
Begitulah kisah Musangking. Dari Kunyik. Lalu menjadi Raja Kunyik. Jadi Maoshangwang. Jadilah Musangking.
Pak Tirto memang sudah mengganti banyak pohon durian lama ke Musangking. Sudah sering panen. Maka lima Musangking ditaruh di depan Aziz. Dibuka. Difoto. Dimakan. Ramai-ramai.
Diapit Aziz (kiri) dan Tirto (kanan)--
Setelah Musangking hampir habis Liong nyeletuk keras: "Kita tadi salah prosedur," katanya. "Harusnya makan durian lokal dulu, baru Musangking," tambahnya.
Maksudnya: agar dari yang kurang enak ke yang paling enak. Apa boleh buat. Telanjur Musangking duluan. Untuk membedakan rasa antar durian kami minum kopi dulu. Kopi durian. Yang dibawa Dr Aziz dari Malaysia.
Kami pun siap antiklimaks. Disajikanlah durian lokal. Kecil-kecil. Tiga kali ukuran bola tenis. Dari ukurannya saja sudah kurang meyakinkan.
Busyet! Enaknya bukan main. Kecil-kecil cabe Manado. Lezat. Teksturnya juga sempurna. Kombinasi manis dan pahitnya pas benar. Dagingnya juga tebal. Bijinya kecil.
Ini mah bukan antiklimaks. Ini klimaks kedua! (Dahlan Iskan)