Mengikat Peradaban Lampau, Menjaga Identitas Daerah
TENUN KAIN: Haninah (65), warga Kelurahan Tenun, Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, saat menenun sebuah kain. FOTO: ANTARA/AHMAD RIFANDI --
Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo membawa warga Sulawesi Selatan, termasuk Suku Bugis mencari tempat berlindung. Dengan potensi tanah yang subur dan dihuni oleh komunitas yang ramah, mereka pun lantas berlabuh di Samarinda. Di sanalah mereka mulai mengembangkan budaya menenun, yang kemudian dikenal sebagai tenun Samarinda.
Berkunjung ke Kampung Tenun Samarinda bukan hanya tentang berbelanja kain tenun yang indah, tetapi juga tentang merasakan pengalaman edukasi yang tak terlupakan. Pengunjung dapat menyaksikan langsung, bahkan belajar menenun, dari para perajin yang berpengalaman dan ramah. Pengalaman ini tentu akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi dan nilai budaya yang terkandung dalam setiap helai kain tenun.
Selain belajar menenun, pengunjung juga dapat berkeliling kampung untuk melihat proses pembuatan sarung Samarinda secara langsung, mulai dari pemilihan benang, pewarnaan, hingga penenunan.
Kampung Tenun Samarinda merupakan destinasi wisata edukasi yang unik dan menarik. Inilah wadah yang tepat sebagai pelestari budaya nenek moyang serta menggenjot industri kreatif masyarakat lokal.
Namun begitu, di tengah gegap gempita Kota Samarinda yang semakin modern, tentu perjuangan menjaga tradisi di Kampung Tenun menjadi tantangan tersendiri. Minimnya regenerasi pegiat tenun sarung Samarinda dan persaingan kain tenun dari daerah lain menjadi ancaman kelestarian budaya yang turun temurun diwariskan oleh para generasi perintis Kota Tepian.
"Banyak anak muda yang tidak tertarik untuk belajar menenun, memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih mudah dan menjanjikan," tutur Irwan Said Rahim, yang juga Ketua Rukun Tetangga (RT) 2 Kelurahan Tenun, Samarinda.
Di sinilah kegigihan para perajin senior seperti Haninah, Makerena, serta 80-an perempuan paruh baya lainnya di sana, menjadi tumpuan harapan.
Meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan, melodi tradisi tenun Samarinda tidak surut. Di Kampung Tenun, para perajin terus berkarya, berinovasi, dan beradaptasi mengalir dengan zaman.
Menjaga Identitas Daerah
Sejarawan Kalimantan Timur, Muhammad Sarip, menuturkan bahwa Kampung Tenun telah lama dikenal sebagai permukiman para perajin sarung Samarinda. Keunikan sarung ini terletak pada proses pembuatannya yang masih menggunakan alat tenun manual dan motifnya yang merupakan perpaduan corak Kutai dan Bugis.
Motif sarung merah tua dengan kotak-kotak hitam bahkan pernah menghiasi lambang Kota Samarinda pada tahun 1960 hingga 1998. Dalam setiap helai kain tenun mengandung nilai sejarah dan budaya.
Lebih menarik lagi, tradisi menenun di Kampung Tenun yang didominasi oleh kaum perempuan bukanlah tanpa alasan. Dahulu kala, para orang tua di kampung ini sengaja mengajari anak perempuan mereka menenun sebagai bekal kehidupan. Bagi mereka, menenun bukan hanya tentang menghasilkan kain, tetapi juga tentang melestarikan budaya dan nilai-nilai luhur.
Bagi orang tua tempo dulu, lebih baik anak-anak perempuan disibukkan dengan kegiatan menenun ketimbang keluyuran di luar rumah tanpa faedah.
Di Kampung inilah, para penenun dengan cekatan menggerakkan jemari mereka, menjalin benang demi benang hingga tercipta motif-motif indah yang penuh makna.
Di tengah arus modernisasi, Kampung Tenun tetap teguh berdiri, menjadi bukti nyata bahwa budaya dan tradisi adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan jati diri sebuah masyarakat.